spot_img

Tantangan Yang Dihadapai RS Swasta Dikupas Dalam Seminar ARSSI

Ilustrasi. Sumber gambar : atlascoegypt.com

Seminar Nasional ARSSI IV & Healthcare Expo III di Jakarta telah dilangsungkan pada tanggal 22 – 24 Agustus 2017 lalu. Kegiatan yang mengusung tema “smart hospital” itu mengupas dan memajang berbagai upaya dan solusi pelayanan yang bermutu dan aman, sarana prasarana dan perbekalan yang ramah lingkungan, operasional rumah sakit yang efektif dan efisien, manajemen yang kompeten dan adaptif, hingga sistem informasi RS digital.

Hal-hal inilah yang menjadi tantangan yang dihadapi kalangan rumah sakit (RS) swasta. Sebagian, terkendala ketersediaan obat karena belum diterapkannya sistem pembelian secara daring, sehingga pembelian obat dilakukan manual. RS pun kesulitan melengkapi jenis dan kuantitas obat yang tak ada dalam katalog. RS pun mencari padanan formula obat yang masuk di formularium nasional di RS masing-masing.

“Masalah yang sering dihadapi adalah stok obat kosong, sementara obat yang setara, lebih mahal. Contohnya seperti obat-obatan kanker yang banyak tidak masuk dalam katalog. Oleh karena itu, RS swasta perlu didorong untuk melakukan perencanaan kebutuhan obatnya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Drg. Susi Setiawaty.

Tantangan lainnya, lanjut Susi, untuk menghadapi penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semesta pada 2019, diperlukan banyak pembenahan. “Saat ini, kata dia, dari 1.719 RS swasta, baru 1.250 yang sudah bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, selain itu, sebagian RS pun terkendala menyediakan ruang unit perawatan intensif (ICU) yang membutuhkan investasi mahal,” pungkas Susi.

Sumber berita : www.pdpersi.com

Pengembang Robot Bedah Titan Medical Raih Investasi USD 2 Juta

Sumber gambar : massdevice.com

Titan Medical, startup asal Kanada yang mengembangkan teknologi robot bedah baru-batu ini mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan investasi sebesar USD 2 juta dari Longtai Medical Inc. Hal ini sekaligus membuat perusahan tersebut menjadi pemegang saham terbesar.

Longtai sendiri merupakan anak usaha dari Ningbo Long Hengtai International Trade Co, perusahaan medis raksasa asalah Tiongkok.

Kerja sama antara Titan dengan Longtai sudah terjalin sejak bulan Mei 2015. Saat itu mereka menandatangani kesepakatan dimana Longtai menjadi distributor eksklusif produk-produk titan untuk wilayah Cina.

“Kami sangat senang menjadi pemegang saham terbesar Titan sekaligus menjadi mitra strategis jangka panjang. Kami berharap dapat bekerja sama dengan mereka untuk pengembangan pasar di wilayah Cina dan Asia Tenggara,” ungkap CEO Longtai, Feng Ting Ling sebagaimana ddikutip dari situs massdevice.com.

Pada bulan Juli tahun ini, Titan Medical menutup penawaran saham senilai hampir USD 7 juta untuk platform operasi robot dengan bantuan Robot yang dikembangkannya.

Kemenkes Akan Optimalkan Kerja Sama Dengan Negara-negara ASEAN

Seminar bertema Optimalisasi Pemanfaatan Kerjasama ASEAN Bidang Kesehatan di Ruang G.A Siwabessy, Gedung Prof.Dr.Sujudi, Kementerian Kesehatan, Kamis (24/8/2017). Sumber foto : Tribunnews.com

Dalam seminar kesehatan untuk merayakan HUT ASEAN ke-50 di gedung Prof. Dr. Sujudi, Kamis (23/8/2017), Menteri Kesehatan Prof. Dr. Nila Farid Moeloek mengungkapkan banyak yang harus dibenahi terutama berbagai masalah kesehatan.

Dikatakan juga bahwa ASEAN Post-2015 Health Development Agenda sebagai bentuk kerja sama Indonesia dengan negara ASEAN lainnya, bertujuan mewujudkan masyarakat ASEAN yang sehat. Program tersebut memberi peluang besar bagi Indonesia untuk mengisi kesenjangan di dalam negeri, terutama untuk terus membangun kualitas pembagunan kesehatan pada beberapa prioritas, yakni promosi gaya hidup sehat, penguatan sistem kesehatan, akses pelayanan kesehatan, pengendalian penyakit menular, dan bahaya kesehatan lainnya, serta keamanan pangan.

“Pembangunan kesehatan masyarakat ASEAN yang nyata perlu terus didorong. ASEAN kini telah menyepakati tujuan bersama untuk menuju ASEAN Community Vision 2025 dan mengimplementasikan ASEAN Post-2015 Health,” ujarnya.

Dalam forum diskusi ini juga terungkap, kerja sama ekonomi ASEAN menuju perdagangan bebas produk kesehatan, diharapkan dapat meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap harga obat dan alat kesehatan. Perdagangan bebas jasa kesehatan diarahkan untuk meningkatkan daya saing tenaga kesehatan Indonesia dan pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan.

Selain itu, Biro Kerja Sama Luar Negri (BKLN), Acep Soemantri, di sela-sela seminar kesehatan tersebut berharap para pemangku kepentingan dapat memberikan masukan positif dan nantinya akan dijadikan bahan pertimbangan penentuan arah kebijakan bagi kerjasama kesehatan ASEAN.

“Pada usianya setengah abad ini, ASEAN sukses menjembatani kerja sama antarpemerintah negara anggota. Namun demikian, masyarakat harus terus berupaya agar ASEAN tidak dirasakan asing oleh masyatakat sendiri,” papar Acep.

Lebih lanjut, menurut Acep Soemantri, selain menyelenggarakan seminar, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan berpartisipasi dalam Parade Tenaga Kesehatan dan pengarahan tim medis yang siaga di jalur parade ASEAN 50, yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri RI pada, Minggu, 27 Agustus mendatang di Jakarta.

Kalbe Farma Ekspor Alat Kesehatan Tahun Depan

Kantor PTT Kalbe Farma Tbk. Sumber gambar : pharmaasia.com

PT Kalbe Farma berencana akan mengekspor produk-produk alat kesehatan (alkes) tahun depan. Ongkie Tedjasurja, Direktur PT Kalbe Farma mengungkapkan, Ekspansi penjualan ke luar negeri ini akan dilakukan secara bertahap dan yang disasar pertama adalah negara-negara Asia Tenggara.

“Untuk tahun ini, sementara belum ke luar negeri. Kita masih fokus di dalam negeri,” ungkap Ongkie. Kendati begitu, dirinya juga tidak mengungkapkan persisnya negara mana saja yang disasar di wilayah Asia Tenggara ini.

Adapun alat kesehatan yang dijualakan diekspor tersebut adalah reagen, tempat tidur rumah sakit, mesin cuci darah dan produk consumables seperti cairan infus, jarum suntik, sarung tangan, dan lain-lain. Namun untuk produk produk consumables masih bekerja sama produksi dengan pihak lain sebab Kalbe belum punya pabrik sendiri.

Hingga akhir tahun 2017, Kalbe menargetkan pertumbuhan 10%-15% dengan laba yang stabil. Sampai pada semester I tahun 2017, pendapatan PT Kalbe Farma sebesar Rp 10,07 triliun dan laba sebesar Rp 1,24 triliun. Dimana 5%-7% didapat dari penjualan produk-produk alkes.

Johnson & Johnson Luncurkan Perangkat Jahit Laparoskopi Bernama PROXISURE

Ethicon, yang merupakan anak perusahaan Johnson & Johnson dikabarkan telah meluncurkan produk perangkat jahit laparoskopi terbarunya bernama PROXISURE. Melalui rilis resminya, disebutkan bahwa perangkat ini memiliki teknologi jarum endomekanik untuk memperbaiki presisi pada saat proses penjahitan di bagian yang rapat.

Perangkat ini memungkinkan ahli bedah mencapai sudut yang diinginkan. Perangkat PROXISURE dirancang untuk digunakan dalam operasi bariatrik, umum, kolorektal dan ginekologi, kata Ethicon.

“Demi keamanan dan keselamatan pasien, kami bertujuan untuk mengenalkan alat penjahitan yang akan membantu mengurangi margin kesalahan pada operasi minimal invasif. Ahli bedah sekarang dapat memiliki kepercayaan yang sama dalam penjahitan laparoskopi yang selalu mereka lakukan dengan prosedur tradisional menggunakan produk Ethicon. Fleksibilitas adalah kuncinya. ProxiSure memungkinkan ahli bedah melakukan berbagai tugasnya sambil mempertahankan konfigurasi yang sangat user-friendly, ” terang Direktur Medis Franchise Ethicon, Dr. Niels-Derrek Schmitz.

Anak Usaha RNI Bangun Pabrik Scaffold Hydroxyapatite di Banjaran

Acara peletakan batu pertama pembangunan pabrik Scaffold Hydroxyapatite, Selasa (22/8/2017). SUmber gambar : metrotvnews.com

Anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang bergerak di industri farmasi dan alat kesehatan (alkes), yakni PT Mitra Rajawali Banjaran dan PT Phapros Tbk membangun fasilitas produksi alat kesehatan Scaffold Hydroxyapatite yang berlokasi di kawasan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pembangunan ini ditandai dengan digelarnya acara peletakan batu pertama pada Selasa (22/8/2017).

Hydroxyapatite (HA) sendiri merupakan mineral kalsium aptite yang memiliki komponen dasar sama dengan tulang. HA selama ini juga digunakan untuk material lem tulang dan pembuat tulang buatan.

Produk ini merupakan hasil hilirisasi riset produk alat kesehatan dalam negeri oleh periset Dr. dr. Ferdiansyah, Sp.OT dari RSUD Dr. Soetomo. Sedangkan yang akan diproduksi oleh Phapros merupakan contoh sinergisme ABGC (Academician-Business-Government-and Community).

Menurut Direktur Utama Phapros, Barokah Sri Utami, produk ini akan menjadi produk alkes Scaffold Hydroxyapetite lokal pertama di Indonesia bahkan Asia tenggara. “Selama ini kita impor dari Korea Selatan paling banyak, Jerman juga ini. Iya, ini pertama di ASEAN,” ucap wanita yang biasa disapa Emmy ini

Dirinya melanjutkan, saat ini fasilitas produksi dibangun memang memiliki kapasitas medium. Tapi ke depan, dengan bertumbuhnya pasar alkes yang cukup tinggi hingga mencapai 13%, maka fasilitas ini akan terus berkembang baik dari sisi kapasitas maupun pertambahan varian produk Hydroxyapetite yang lain.

Sementara itu, Komisaris Utama Phapros sekaligus Direktur Keuangan RNI M. Yana Aditya mengatakan kerja sama keduanya merupakan sinergi anak perusahaan RNI dalam mendukung upaya kemandirian alkes nasional.

Dalam kerja sama ini, Phapros punya modal teknologi dan Mitra Rajawali Banjaran memiliki lahan dan aset bangunan idle atau menganggur. Selain itu, Mitra Rajawali Banjaran juga telah dilengkapi sederet izin seperti izin industri, edar, impor dan sertifikasi pengembangan alat kesehatan.

Tak hanya memanfaatkan aset menganggur dimiliki Mitra Rajawali Banjaran, Phapros juga akan melakukan transfer ilmu kepada SDM yang dimiliki Mitra Rajawali Banjaran terkait hal teknis yang berkaitan dengan produksi HA tersebut.

“Fasilitas produksi dibangun memang kapasitas medium dan ditargetkan bisa beroperasi penuh di semester II-2018,” pungkasnya.

Empat Temuan Inovatif yang Mempermudah Proses Diagnosis Penyakit

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa seperempat kematian dan penyakit di dunia akan terjadi di negara-negara berkembang. Ini disebabkan karena tidak meratanya akses terhadap perawatan kesehatan khususnya perangkat pendeteksi penyakit atau diagnosis di negara-negara tersebut.

Menyikapi hal ini, beberapa peneliti berupaya mengembangkan alat diagnosis yang memiliki harga terjangkau serta praktis penggunaannya sehingga akses masyarakat untuk menikmati manfaat alat tersebut menjadi sangat mudah. Berikut kelima alatnya.

1. Mikroskop Seharga Kurang Dari 1 Dolar

Sumber gambar : medicaldesignandoutsourcing.com

Dua orang insinyur bernama Manu Prakash dan Jim Cybulski asal Universitas Stanford mengembangkan mikroskop berbahan dasar kertas yang iberi nama Foldscope. Uniknya, untuk memproduksi perangkat ini membutuhkan biaya kurang dari 1 dolar AS.

Foldscope dirancang dengan menggabungkan prinsip-prinsip desain optik dengan origami. Memiliki kemampuan pembesaran lebih dari 2.000 kali dengan resolusi submikron. Bentuknya cukup kecil sehingga muat diletakkan di saku. Kendati bentuknya kecil dan berbahan kertas namun telah lolos uji kekuatan. Alat ini dapat bertahan dan tidak rusak walau dijatuhkan dari bangunan lantai tiga dan diinjak.

Untuk menggunakan Foldscope, pengguna memasukkan sampel yang terpasang pada slide mikroskop. Pengguna dapat melihat sampel dengan meletakkan mata mereka cukup dekat ke kertas dan melihat ke lensa mikro.

Korea Selatan Gunakan Robot Untuk Operasi Bedah Pasien

Revo-i, perangkat bedah robot milik Korea Selatan. Sumber gambar : theinvestor.co.kr

Kementrian Pengawas Makanan dan Obat Korea Selatan (MFDS) telah menyetujui perangkat bedah berteknologi robot untuk beroperasi di negeri tersebut. Perangkat ini mampu melakukan operasi bedah yang kompleks guna mempermudah pekerjaan ahli medis terkait.

Teknologi pertama dan satu-satunya di Korea Selatan tersebut bernama Revo-i, dikembangkan Meere Company, perusahaan biotech Korsel bernama dan dirancang untuk digunakan di ruang operasi dalam prosedur bedah endoskopi termasuk kolesistektomi dan prostatektomi.

“Kami berharap keberhasilan pengembangan robot bedah ini akan menyebabkan biaya medis lebih rendah dan waktu operasi lebih singkat serta pasien dapat kehilangan darah lebih sedikit,” kata seorang pejabat MFDS.

Selama prosedur operasi, ahli bedah akan duduk di depan Revo-i ini sambil melihat ke monitor pencitraan tiga dimensi yang memunculkan anatomi pasien. Perangkat ini akan membantu menemukan area tubuh yang tepat untuk operasi dan juga membantu membuat sayatan dan penjahitan dengan keempat lengan robotnya.

Menurut MFDS, pasar robot bedah global diperkirakan akan mencapai 9,64 triliun won atau 8,54 miliar US dollar pada 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan senilai 12,1 persen. Sedangkan impor perangkat medis robot di Korea Selatan sendiri meningkat 34 persen menjadi 19,6 miliar won tahun lalu dari 14,6 miliar won pada tahun 2015.

ARSSI Ingin Wujudkan Konsep “Smart Hospital” Untuk RS di Indonesia

Menghadapi situasi persaingan global dan pelaksanaan Universal Health Coverage 2019 serta berbagai situasi yang penuh tantangan dan kompetisi dimana rumah sakit harus senantiasa merumuskan strategi yang tepat secara komprehensif.

Strategi menjadi suatu rumah sakit yang “Smart” dan safety tentunya merupakan tantangan bagi rumah sakit ke depan. Rumah sakit perlu mempersiapkan diri agar menjadi “Smart Hospital“, antara lain melalui pelayanan yang bermutu dan safety, sarana prasarana dan perbekalan yang ramah lingkungan, operasional rumah sakit yang efektif dan efesien, manajemen SDM dan kompeten dan adaptif, serta sistem informasi yang bertransformasi ke arah digitalisasi.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) akan menyelenggarakan Seminar Nasional IV dan Healthcare Expo III dan berbagai jenis workshop untuk menambah wacana, pengetahuan dan keterampilan dalam menunjang rumah sakit Indonesia yang berkualitas dan mampu bersaing. Acara akan dilangsungkan pada 22 – 24 Agustus 2017 di Hotel Fairmont, Jakarta.

Dikutip dari rilis resminya, secara garis besar acara ini memilki 3 tujuan utama, yaitu:

  • Menambah pengetahuan bagi pemilik dan manajemen Rumah Sakit Indonesia bagaimana menuju “Smart Hospital” dalam menghadapi Universal Health Coverage (UHC) 2019.
  • Membantu Rumah Sakit Indonesia mewujudkan cita-citanya menjadi rumah sakit pilihan dengan memberikan pelayanan yang prima.
  • Membantu pemilik dan pimpinan rumah sakit Indonesia bagaimana mengembangkan / ekspansi RS melalui Go Public, Joint Investment dan Pendanaan Perbankan.

Untuk pendaftarand an info selengkapnya, bisa mengunduh brosur resminya dnegan mengklik tombol di bawah ini.

Unduh Brosur

 

Gel Buatan Universitas Michigan Ini Bisa Sembuhkan Penyakit Glaukoma

Glaukoma adalah penyakit yang merusak saraf optik mata dan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan atau kebutaan. Dalam dunia media, untuk mengobati penyakit ini, bbat dalam bentuk obat tetes mata atau pil dapat digunakan. Pilihan lainnya adalah laser trabeculoplasty. dan bedah konvensional yang membantu menguras cairan dari dalam mata.

Namun, kedua pilihan bedah tersebut memiliki risiko rentan terhadap komplikasi. Dengan jumlah kasus glaukoma yang diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2050, perawatan yang ada sekarang diperkirakan tidak akan efektif.

Untuk itu, sejumlah peneliti Universitas Michigan Kellogg Eye Center menciptakan alat bernama Allergan, yaitu sebuah tabung kecil panjang yang berisi stent berbentuk gel, digunakan untuk menciptakan celah antara lapisan dalam dan luar mata guna mengalirkan cairan dan mengurangi tekanan pada mata. Stent terbuat dari bahan gel lembut, memilki panjang 6mm dan lebar seperti rambut manusia. Dokter bisa menyuntikkan stent menggunakan injector preload melalui insisi kornea kecil guna menyembuhkan glaukoma ini.

Kellogg Eye Center adalah salah satu pusat mata pertama di Amerika Serikat (AS). Penggunaan Allergan sebagai pengobatan terbukti aman dalam uji klinis.

“Secara keseluruhan, ini adalah alternatif yang lebih aman untuk operasi filtrasi glaukoma tradisional,” kata Manjool Shah, dokter ahli glaukoma yang bekerja di Kellogg.

Cara pengobatan ini telah disetujui oleh Badan Penagawasan Obat dan Makanan AS (FDA) sejak bulan November 2016 dan dirancang untuk membantu mengobati glaukoma ringan sampai sedang. Alat ini diharapkan dapat terus digunakan di masa mendatang.

“Memilih kandidat yang tepat adalah keputusan klinis berdasarkan sejumlah faktor, termasuk jenis dan tingkat keparahan glaukoma serta riwayat bedah sebelumnya,” pungkas Shah, yang juga seorang instruktur klinis di departemen oftalmologi dan ilmu visual di Universitas Michigan.