spot_img

Dokter Mata UI Luncurkan Implan Glaukoma Harga Terjangkau

Dekan FKUI, Ari Fahdal Syam (kedua kiri) memperkenalkan penemum terbaru berupa alat drainase glaukoma, VIRNA Glaucoma Implant by ROHTO, yang dikembangkan dr. Virna Dwi Oktariana, SpM(K) (kiri) di Jakarta, Rabu 26 Juni 2019. Foto: Berita Satu

Glaukoma merupakan penyakit mata berbahaya yang ditandai dengan kerusakan saraf mata. Penyakit ini merupakan penyebab kebutaan kedua setelah katarak, dan saat ini jumlah penderitanya di Indonesia terus meningkat. Data Kemenkes mencatat, prevalensi glaukoma mencapai 4,6 per 1.000 penduduk.

Terkait hal tersebut, ada kabar baik datang dari dunia kesehatan Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) telah meluncurkan temuan baru yaitu VIRNA Glaucoma Implant. Sebuah implan untuk penderita penyakit mata glaukoma yang memiliki harga terjangkau.

VIRNA Glaucoma Implant diindikasikan untuk pasien glaukoma yang tidak merespons terapi medis maksimal atau jika trabekulektomi gagal menurunkan tekanan intraokular.

Sedangkan alat ini sendiri ditemukan oleh Dr. dr. Virna Dwi Oktariana, SpM(K) bekerja sama dengan Western Austrdia’s Lions Eye Institute (LEI).

“Saya ingin membuat glaukoma implant dengan harga terjangkau bagi masyarakat dan mudah pengerjaannya,” jelas dr. Virna Dwi Oktatiana seperti dilansir oleh situs Berita Satu.

Di Indonesia, dr. Virna menjelaskan, ada banyak pasien dalam situasi ini, tetapi bagi kebanyakan masyarakat, hal ini bukan pilihan karena faktor biaya. Bahkan Harga implan saat ini bisa mencapai Rp 6,5-Rp 7,5 juta, sedangkan alat temuannya 30 persen lebih murah dari harga pasaran.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Rohto Laboratories Indonesia, Mukdaya Masidy menyatakan bahwa Virna Glaucoma Implant telah mendapatkan izin edar dari Kemenkes dan produksinya sendiri akan dilakukan oleh PT Rohto.

“Diharapkan dengan penemuan ini dapat membuat angka kebutaan yang diakibatkan oleh glaukoma, dapat turun seiring berjalannya waktu,” ujar Mukdaya Masidy.

Mukdaya Masidy melanjutkan, Rohto untuk tahap awal akan membuat sekitar 200 sampai 300 per bulan yang ditujukan pada pasien di Indonesia. Dan ke depan, tidak menutup kemungkinan akan diekspor ke 15 negara seperti yang dilakukan Rohto terkait katarak.

Tak hanya itu, bahkan alat ini sudah direncanakan masuk dalam Formularium Nasional (Formas) BPJS Kesehatan menjadi produk alat kesehatan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertama di Majalengka Siap Beroperasi

Salah satu fasilitas ruang rawat inap yang tersedia. Gambar: Livasya

Kabar gembira untuk warga Majalengka. Sekarang sudah tersedia RUmah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSIA) di kota tersebut. RSIA yang diresmikan oleh Bupati Majalengka beberapa waktu lalu ini bernama RSIA Livasya. Terletak di Jalan Raya Cirebon – Palimanan, Dawuan, Kabupaten Majalengka.

Pemilik RSIA Livasya, dr. Iing Syapei Sudjono, SPOG mengaku bahwa fasilitas di RSIA ini sangat lengkap, serta memiliki beberapa dokter yang kompeten di bidangnya.

“Di sini ada Dokter Ibu dan Anak, Dokter Kebidanan, serta Dokter pendukung ada Dokter THT, Dokter Penyakit Dalam dan masih banyak lagi,” ujar dr. Iing sebagaimana MedX kutip dari Tribun Jabar.

Dirinya melanjutkan, untuk fasilitas kamar perawatan yang tersedia di RSIA Livasya saat ini berjumlah 49 kamar.

Sementara itu, terkait nama RSIA tersebut diambil dari nama dirinya dan istrinya. “Nama istri saya Lia Vallini, jadi selain sebagai nama Rumah Sakit, Livasya juga dibuat menjadi nama marga untuk anak,” tandas Iing.

Catat! Ini Daftar 28 Rumah Sakit Yang Tak Lagi Terima Pasien BPJS

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengumumkan 28 rumah sakit yang tidak lagi bekerjasama dengan pihaknya. Dengan kata lain, rumah sakit tersebut tidak lagi melayani pasien JKN -KIS. Hal ini terkait dengan habisnya masa akreditasi pada Juni 2019.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan bahwa ke-28 RS tersebut tidak lagi melayani peserta JKN dan diharapkan masyarakat untuk mengunjungi faskes lain yang masih bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Berikut daftarnya:

  1. RS Sumber Hidup (Juni 2019) – Ambon
  2. Rumkit TK IV 01.07.02 Binjai (Juni 2019) – Medan
  3. Methodist Susana Wesley (Juli 2019)- Medan
  4. RS Martha Friska Multatuli (Juli 2019)- Medan
  5. RSU Martha Friska (Juli 2019)- Medan
  6. RSUD Sawah Besar (Juli 2019) – Jakarta Pusat
  7. RS Islam Jakarta (Juli 2019)- Jakarta Pusat
  8. RSUD Cempaka Putih (Juli 2019)- Jakarta Pusat
  9. RS Mata Solo (Juli 2019) – Surakarta
  10. RST DR Soedjono Magelang (Juli 2019) – Magelang
  11. RS Mata Undaan (Juli 2019) – Surabaya
  12. RS Muji Rahayu (Juli 2019)- Surabaya
  13. RS Surabaya Medical Service (Juli 2019)- Surabaya
  14. RS Mutiara Bunda (Juli 2019) – Lampung
  15. RSUD Sejiran Setason (Juli 2019) – Pangkal Pinang
  16. RS Mitra Husada (Juli 2019) – Makassar
  17. RS Luramay (Juli 2019)- Makassar
  18. RS Bhakti Medicare (Juli 2019) – Sukabumi
  19. RS Kartini (Juli 2019) – Kupang
  20. RS TK III 04.06.03 DR Soetarto (Juli 2019) – Yogyakarta
  21. RSUD Wonosari (Juli 2019) – Tangerang
  22. RS Bhakti Asih (Juli 2019) – Tiga Raksa
  23. RSUD Kabupaten Tangerang (Juli 2019) – Tulung Agung
  24. RSUD Pacitan/RSUD DR Darsono (Juli 2019) – Pare-Pare
  25. RSU Nene Mallomo (Juli 2019) – Pare-Pare
  26. RS TMC (Juli 2019) – Tasikmalaya
  27. RSIA Puri Bunda (Juli 2019) – Malang
  28. Budi Mulia (Juni 2019) – Manado

Natali Ardianto Kini Serius Rambah Sektor Healthtech

Co-Founder dan CEO Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) Natali Ardianto

Catcha Group di akhir tahun lalu merilis tiga prediksi terkait masa depan industri startup di Indonesia sampai 2020 mendatang. Salah satunya soal prediksi potensi startup unicorn berikutnya di Indonesia yang berasal dari segmen fintech dan healthtech (teknologi kesehatan).

Prediksi ini boleh diamini. Pangsa pasar healthcare di Indonesia diprediksi mencapai $363 miliar di 2025, naik 18 kali lipat dari $20 miliar di 2010. Kenaikan ini didorong tingginya permintaan terhadap layanan kesehatan.

Di balik potensi besar ini, ada tantangan yang masih menghantui industri layanan kesehatan seperti minimnya tenaga medis di daerah dan fasilitas kesehatan yang belum merata. Banyak yang menganggap hanya orang kaya yang bisa berobat karena mahalnya biaya pengobatan.

Co-Founder Tiket Natali Ardianto pun memutuskan kini terjun ke sektor healthtech yang bakal dirilis akhir tahun ini. Sempat sejenak berkutat dengan startup fintech EmasDigi, Natali mengonfirmasi dirinya telah exit dari startup tersebut dan secara penuh waktu mengembangkan startup barunya ini.

“Saya pribadi suka memulai sesuatu dari kecil sampai benar-benar besar. TAM [total addressable market] di healthcare itu besar, namun belum ada success story-nya di Indonesia. Sama halnya dengan yang terjadi di OTA, saat Tiket dirintis di 2011, itu karena TAM-nya juga besar dan pemainnya belum ada,” terangnya kepada DailySocial.

Ia menganggap startup healthtech di Indonesia masih dalam tahap infancy, artinya banyak pemain yang baru mulai karena sadar dengan potensinya dan berlomba-lomba untuk jadi terbesar. Dirinya merasa tidak khawatir karena ada peluang bisa digarap dengan startup baru tersebut.

Natali kini menjadi Co-Founder dan CEO Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) dan Advisor untuk Indopasifik Medika Investama (IMI). IMI adalah perusahaan holding yang membawahi sejumlah layanan kesehatan, seperti PharmaPlus (apotek), Homecare24 (aplikasi jasa home care dan perawat), dan PrimeCare Clinic (klinik dokter spesialis dan umum).

IMI terafiliasi dengan keluarga pebisnis Kwari yang sudah berkecimpung di dunia kesehatan selama 40 tahun.

ITMI akan menjadi startup healthtech di bawah IMI dengan dua layanan yang akan dirilis pada akhir tahun ini. Dengan berbagai pertimbangan, Natali belum bisa membeberkan lebih dalam tentang nama startup dan segmen healthtech yang akan dirambah.

“Kalau tentang apa, belum bisa di-disclose. Tapi kita akan buat dua produk digital yang akan di-launch akhir tahun ini.”

ITMI menjadi startup kelima yang dikerjakan Natali. Startup pertamanya adalah Urbanesia (city directory) yang diakuisisi Kompas. Berikutnya Golfnesia (situs booking olahraga golf), Tiket (OTA) yang diakuisisi Grup Djarum melalui Blibli, dan EmasDigi (situs jual beli emas online).

Optimisme ITMI

Meski enggan mendetailkan, Natali memiliki optimisme yang tinggi terhadap ITMI. Ia memproyeksikan, dalam waktu dua tahun perusahaan sudah mencetak untung dan menguasai 0,07% pangsa pasar healthcare di Indonesia.

Dia beralasan produk yang sedang dibuat sudah terbukti sukses di luar negeri. ITMI hanya mereplikasi dan memodifikasinya sesuai dengan kondisi di Indonesia. Diklaim layanannya ini sebenarnya sudah ada secara offline, hanya saja bentuknya kini didigitalkan.

“Sama halnya dengan Gojek, mereka mendigitalkan pengemudi ojek. Tapi ojeknya itu sendiri kan sudah ada sejak lama. Nah hal seperti itulah yang sedang kami kerjakan. Intinya mau digitalkan produk itu, harus tau caranya buat produk itu jadi online. Itu tugas kita [engineer], tapi kalau tentang industrinya itu sendiri butuh expert.”

Produk ITMI sekarang masih dalam tahap pengembangan dan rencananya akan menjadi produk yang saling melengkapi dengan sister company di dalam lingkup IMI.

Tim secara resmi baru mulai bekerja sejak 17 Juni dengan jumlah karyawan awal mencapai 11 orang. Natali menjadi co-founder bersama empat orang lainnya, yang kebetulan semuanya pernah bekerja di Tiket.

Natali berharap bisa merekrut banyak engineer untuk mempercepat pengembangan ITMI agar pada akhir tahun total anggota tim mencapai 52 orang. Secara status perusahaan, ITMI telah disokong pendanaan Pra Seri A dari holding.

“[Di posisi CEO] sekarang I get to be able to run the company the way I really want. Jadi kata kuncinya adalah eksekusi, makanya belum bisa cerita banyak. Saya berharap dengan pengalaman saya [dari perusahaan-perusahaan sebelumnya] eksekusi yang kita lakukan ini tepat,” pungkasnya.

Masuknya Natali ke segmen ini, turut meramaikan peta persaingan startup healthech di Indonesia. Pemain sebelumnya yang berkecimpung di antaranya Alodokter, Halodoc, Medigo, HubSehat, Ayomed, Periksa.id, SehatQ, Medi-Call, dan masih banyak lagi.

_

Artikel Asli Berjudul Optimisme Natali Ardianto Seriusi Segmen Healthtech ditulis oleh Marsya Nabila untuk situs Dailysocial.co.id.

Indonesia Tingkatkan Fasilitas Kesehatan Untuk Jamaah Haji di Mekkah-Madinah

Gambar: VIva.co.id

Kabar gembira untuk jamaah dan calon jamaah haji Indonesia. Pemerintah RI telah menambah fasilitas kesehatan serta sarana pra sara penunjang untuk jamaah haji asal Indonesia di kawasan Mekkah dan Madinah.

Dilansir oleh situs Antara, penambahan tersebut meliputi penambahan tempat tidur, dan pembaruan gedung dan alat kesehatan di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI). Jumlah tempat tidur yang semula hanya 50 saat ini ditambah menjadi 80 tempat tidur. Sedangkan gedung yang diperbarui merupakan yang baru saja diresmikan pada awal Mei 2019 lalu.

Di samping itu juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung pemeriksaan kesehatan seperti laboratorium, apotek, ruang rontgen dan memiliki fasilitas kamar petugas kesehatan yang dapat menampung sekitar 400 petugas kesehatan haji. Kedua KKHI ini setara dengan rumah sakit tipe C di Indonesia.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes Eka Jusup Singka mengatakan fasilitas kesehatan tersebut juga dilengkapi dengan sarana prasarana pendukung seperti ambulans, laboratorium dan obat-obatan.

“Itu kesiapan kita dari fasilitas, sarana dan prasarana termasuk tenaga petugas kesehatan yang insya Allah jauh lebih baik lagi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Eka.

Tak hanay itu, tahun ini pemerintah juga sudah menyiapkan sekitar 79 ton obat-obatan. Jumlah ini lebih banyak sembilan ton dibandingkan tahun 2018. Alat pelindung diri (APD) seperti masker, payung, dan kacamata juga tetap diadakan bagi setiap jemaah dan dibagikan di embarkasi saat sebelum keberangkatan.

Keren, Tiga Mahasiwa Ini Kembangkan Alat Deteksi Dini Obstruksi Usus!

Tiga mahasiswa asal Unair yang tengah mengembangkan alat kesehatan untuk melakukan deteksi dini penyakit Obstruksi Usus. Gambar: beritajatim.com

Tiga Mahasiswa asal universitas Airlangga (Unair) Surabaya yaitu Ainur Dwiki Setyawan, Ainun Najah, dan Muhammad Zaki Irfani saat ini tengah meneliti dan mengembangkan alat kesehatan untuk melakukan deteksi dini penyakit obstruksi usus. Alat tersebut diberi nama QUINCE (Quick Analysis Intenstine Mobile Device) yang diprogram pada sebuah mini-PC yang sudah terhubung dengan stetoskop yang memiliki desain minimalis sehingga dapat digunakan dengan mudah.

Alat ini dirancang secara portable dengan bahasa yang mudah difahami dapat digunakan semua kalangan, dapat digunakan dimana saja, berulang kali sehingga lebih efisien dan lebih terjangkau. Tak hanya itu, diharapkan nantinya alat ini bisa melakukan deteksi secara tepat tanpa menimbulkan efek samping bagi penggunanya.

Ainur sebagai ketua menjelaskan bahwa obstruksi usus merupakan gangguan saluran cerna yang disebabkan karena adanya sumbatan di dalam usus.

“Sumbatan di dalam usus dapat menyebabkan penumpukan cairan dan gas yang akan menimbulkan tekanan pada usus. Bila tekanan makin besar, usus dapat robek dan mengeluarkan isi usus ke rongga perut. Pada bagian sumbatan usus yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan komplikasi serius,” jelas mahasiswa jurusan Teknik Biomedis ini.

Selama ini, Ainur melanjutkan, pemeriksaan untuk diagnosa obstruksi menggunakan metode radiografi seperti halnya CT-Scan dan Rontgen. Paparan sinar radiografi dari metode pemeriksaan tersebut menimbulkan efek samping yang buruk bagi kesehatan pasien, adanya sinar yang menumpuk dengan dosis yang tinggi memicu timbulnya kanker. Karena itu, sebenarnya obstruksi usus dapat pula dilakukan dengan metode yang lebih aman, yaitu auskultasi dengan stetoskop. Namun, jika didengarkan secara manual suara usus kadang terdengar samar atau tidak dapat dideteksi.

“Untuk itu kami menggagas sebuah inovasi yang menggabungkan antara auskultasi dengan stetoskop yang mampu menyadap suara usus dan akan diolah dengan metode short-time fourier transform (STFT) kemudian diintegrasikan dengan sebuah kecerdasan buatan berbasis jaringan saraf tiruan sebagai pengambil keputusan yang dapat mendeteksi dini penyakit obstruksi usus,” ungkap Ainur.

Untuk diketahui, Obstruksi usus menjadi penyakit yang sering dijumpai di Indonesia. Menurut data WHO dari 162 kasus pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada 2006 dan 1281 kasus pada tahun 2007 (Depkes RI, 2007).

Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang melakukan rawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan (Departemen Kesehatan RI, 2010).

Pengembang Perangkat Wearable KaHa Sukses Raih Pendanaan USD 6.2 Juta

Gambar: www.techcircle.in

KaHa, starup penggembang perangkat wearables asal Singapura, sukses meraih pendanaan Seri B sebesar 6.2 Juta. Pendanaan tersebut dipimpin oleh ICT Fund, Venture Capital yang memang fokus memberikan pendanaan pada startup yang mengembangkan teknologi canggih. Investor yang iut berperan dalam pendanaan ini berasal dari Eropa, namun tidak mau disebutkan namanya.

KaHa menyatakan bahwa pendanaan kali ini akan digunakan untuk penelitian dan pengembangan, serta juga memperluas operasinya di wilayah Asia Pasifik yang memang merupakan pasar perangkat wearable canggih yang paling berkembang saat ini.

Awal tahun ini, KaHa meluncurkan COVE R2C IoT Innovation Lab, laboratorium inovasi dan riset IoT multipartite di one-north Singapura.

KaHa saat ini sedang mengembangkan potensi perangkat wearable canggih yang menggabungkan sektor publik dan swasta. Mitra yang bergabung antara lain lembaga riset Singapura, A*STAR SIMTech, Bridgestone, Curtis Australia, MHA Manufacture de Haute Accesoirie Partners, Tex Line, dan Titan.

Salah satu inovasi KaHa yang berkolaborasi dengan Tex Line dan A*STAR SIMTech adalah membuat Kaos Smart Fitness canggih pertama di dunia buatan Singapura. Dimana memiliki kemampuan untuk memantau langsung ECG, denyut jantung, dan parameter kesehatan lainnya.

Selain perangkat wearable KaHa juga bekerjasama dengan A*STAR Institute of Microelectronics (IME), mengembangkan proof of concept pendeteksi gejala pembengkakan pada pasien medis.

“Misi kami adalah menciptakan lingkungan yang lebih baik dan lebih aman, jadi penting bagi kami untuk mengantarkan teknologi yang inovatif dan relevan kepada kehidupan sehari-hari konsumen. Pendanaan ini akan membantu KaHa menemukan lebih banyak produk andalan yang dapat mendukung kesehatan, kebugaran, olahraga, keamanan, dan kebutuhan pembayaran digital, bersamaan dengan peningkatan keberadaan platform COVE secara internasional dan peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan produk kami,” Ujar Pawan Gandhi, founder dan CEO KaHa.

KaHa didirikan di Singapura pada 2015 lalu dan diklaim sebagai salah satu perusahaan pertama di dunia yang memiliki platform IoT end-to-end untuk perangkat wearable canggih termasuk rancangan elektronik, perakitan papan sirkuit, framework aplikasi untuk iOS dan Android, layanan cloud, data analytics, dan tool canggih layanan purna jualnya.

Dosen UGM Sebut Alkes Buatan PTN Butuh Dukungan Regulasi Dari Pemerintah

Kepala Seksi Inkubasi Bisnis dan Teknologi Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Almira Rianty bersama staf saat menunjukkan Ceraspon Gambar: Antara

Kepala Seksi Inkubasi Bisnis dan Teknologi Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Almira Rianty menyatakan bahwa Perguruan Tinggi Negeri yang menghasilkan sejumlah produk alat kesehatan membutuhkan dukungan regulasi dari pemerintah untuk mewujudkan visi menekan angka impor alkes di Indonesia.

“Hal tersebut juga menjadi visi kita agar hasil karya peneliti dari berbagai perguruan tinggi bisa lebih memiliki ruang di negeri sendiri,” ungkapnya pada pameran produk penelitian PTN seperti MedX himpun dari situs Anatara.

Produk hasil karya peneliti PTN sudah mulai dikembangkan, seperti pada Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah berdiri sejak 2012 lalu. Direktorat tersebut hadir untuk hilirisasi produk serta berbagai kegiatan yang mendukung proses komersil produk, termasuk dalam bidang kesehatan dan alkes.

Meski demikian, lanjut Mira, proses hilirisasi dan komersilitas produk tidak lepas dari regulasi pemerintah yang harus bisa menyiapkan ruang lebih lebar bagi produk dalam negeri agar Indonesia punya daya saing dan lebih mandiri.

Salah satu kendala lainnya ialah penetrasi pasar pengguna alat kepada pihak terkait seperti klinik, pelayanan kesehatan lainnya dan rumah sakit pemerintah maupun swasta. Meski diakui telah ada permenkes yang mengatur penggunaan produk dalam negeri, namun masih membutuhkan penekanan lebih lanjut terkait hal itu.

“Kita sudah ada beberapa produk alkesnya, kerja sama dengan pemerintah seperti Kementrian Kesehatan juga sudah dijajaki dan Alhamdulillah beberapa produk dari UGM juga sudah memiliizin edar,” ungkap Dosen Kedokteran Gigi UGM ini.

Empat produk alkes hasil peneliti UGM yang telah mengantongi izin edar masing-masing yakni gamacha sebuah produk dental (2014), Inashunt diharapkan untuk mensubsidi impor hidrochepalus (2016), npcstripG alat skrining dini kanker nasoparing (2017) dan terbaru ialah ceraspon, sebuah spon hemostatis bermanfaat menghentikan pendarahan pasca operasi dental (2018).

Rumah Sakit Awal Bros Luncurkan Layanan Sport Clinic

Gabar: awalbros.com

Sakit Awal Bros Kepulauan Riau (Kepulauan Riau) dikabarkan akan meluncurkan layanan sport clinic yang diklaim merupakan yang pertama di wilayah Kepri. Acara peluncurannya sendiri akan digelar bersamaan dengan peringatan ulang tahun ke-16 rumah sakit pada tanggal 26 juni mendatang.

Sport clinic ini melayani orang-orang yang cedera akibat olahraga. Baik itu atlet ataupun orang biasa. Supaya mereka bisa melatih lagi ototnya yang cedera saat bertanding atau olahraga,” ujar Direktur Rumah Sakit Awal Bros Batam dr. Widya Putri, MARS.

Sport clinic ini, dr. Widya Putri menjelaskan, bisa menjadi solusi perawatan jika mereka (atlet – red) cedera agar tidak pensiun dini. Sport klinik RUmah Sakit Awal Bros ini juga tidak hanya menyediakan pelayanan kesehatan dari dokter ortopedi serta rehab medik saja, namun ada juga penanganan dari sisi psikologi.

“Selama ini di Kepri belum ada yang one stop service seperti ini. Jadi penanganannya terhadap pasien kategori ini masih minim. Sekarang alat-alat kami juga sudah lengkap. Tujuannya kita harap para atlet yang cedera tetap bisa berkarir kembali,” jelasnya.

Dirinya melanjutkan, apalagi di Kepri ada banyak pesepakbola. Lalu masyarakatnya juga cukup banyak yang bermain di beberapa cabang olahraga seperti badminton, futsal, sepeda, golf.

“Turnamen turnamen olahraga tertentu seringkan dibuat di sini, dan selalu banyak peminatnya. Selama ini mungkin mereka mereka yang mengalami cedera olahraga ini berobatnya ke luar negeri, padahal di dalam negeri sudah ada. Dengan launching nanti kami berharap orang awam tahu, dan kalau atlet minimal mencegah dia pensiun dini akibat cedera,” pungkasnya.

Tato Elektronik Ini Bisa Digunakan Untuk Memantau Kondisi Jantung

Gambar: Medgadget

Ketika mendengar kata tato, pasti yang terbayang di otak kita adalah rajah atau gambar yang biasanya menghias bagian tubuh sesorang. Namun tato yang ini berbeda. Adalah sebuah E-tattoo atau tato elektronik yang tengah dikembangkan oleh sejumlah peneliti di University of Texas di Austin dimana alat ini berguna untuk memonitor kesehatan jantung seseorang.

Dikutip dari situs Medgadget.com, alat yang penggunaannya dengan cara ditempelkan di dada ini, diklaim mampu mengukur elektrokardiografi (EKG) dan seismokardiografi (SCG) yang memang biasanya digunakan untuk mengetahui kesehatan jantung seseorang.

E-tattoo ini diharapkan bisa menjadi alat kesehatan yang bisa mempermudah pasien untuk mengetahui kondisi jantung mereka tanpa harus bolak-balik ke rumah sakit atau klinik untuk melakukan pengecekan.

Canggihnya, alat ini sendiri terkoneksi dengan aplikasi mobile sehingga bisa dikendalikan dari jarak jauh menggunakan smartphone serta pengguna bisa melihat hasil pengukuran dan kesehatan jantung melalui perangkat tersebut.

“Kita bisa mendapatkan wawasan yang jauh lebih besar tentang kesehatan jantung dengan mengumpulkan data secara sinkron dari kedua sumber,” kata Nanshu Lu, salah satu peneliti yang terlibat dalam penelitian ini.

Pun para peniliti mengklaim bahwa alat pengukur kesehatan jantung ini bentuknya fleksibel dan tipis, sehingga lebih nyaman dan nyaman dipakai dibandingkan dengan alat monitor jantung yang konvensional yang ada saat ini.