spot_img

RS Siloam Bangka Gelar Seminar Bertema Neurosurgery in Indonesia

Tenaga medis dan narasumber RS Siloam berpose bersama . Foto: Tribunnews.com

Menggandeng Team Bedah Syaraf (TBS) Siloam Hospitals Group, Rumah Sakit Siloam Bangka mengadakan seminar bertema Neurosurgery in Indonesia, Sabtu (18/11) di BES Cinema.

Direktur Siloam Hospital Bangka, dr Eusebiusyuvens C Waruwu mengatakan motto Care and Compassion for The Nation menjadikan Rumah Sakit Siloam selalu aktif menggelar kegiatan seminar kesehatan guna mendukung terciptanya kesehatan masyarakat Bangka yang lebih baik.

Sebab lebih baik mencegah daripada mengobati sehingga mas­yarakat harus lebih waspada mendeteksi tanda-tanda penyakit sebelum terlambat.

Seminar tersebut ditujukan kepada dokter dan tenaga medis lainnya guna mening­katkan pengetahuan terutama tentang bedah syaraf.

TBS Siloam Hopitals Group dipimpin Prof Eka J Wahjoepramono, MD, Ph.D telah banyak mengadakan seminar di Indonesia maupun mancanegara.

Tim tersebut mempunyai 20 anggota, satu di antaranya dokter spesialis tetap di RS Siloam Bangka yaitu dr Wiradharma Arief, SpBS. Ia menyebutkan dr Wiradharma Arief, SpBS bergabung di RS Siloam Bangka sejak awal beroperasi.

Selain didukung TBS, dilengkapi pula teknologi canggih CT Scan 128 membantu mendiagnosa pasien.

Menengok Semangat Berbagi dari RS Apung dr. Lie Dharmawan

Rumah Sakit Apung dr. Lie Dharmawan. Foto: dok. doctorSHARE

Indonesia merupakan sebagai negara kepulauan dimana tak hanya terdiri dari pulau-pulau besar namun juga berbagai pulau terpencil. Yang disebutkan terakhir, penduduk yang bermukim di sana acapkali memiliki kendala dalam mengakses fasilitas kesehatan. Hal ini yang menginisiasi beberapa pihak untuk mendirikan Rumah Sakit terapung.

Selain RS Terapung Ksatria Airlangga, ada juga milik yayasan dan gerakana doctorSHARE yang diinisiasi oleh dr. Lie Dharawan. Lie melalui yayasan yang didirikannya tersebut bahkan memiliki rumah sakit apung (SRSA) awasta pertama di Indonesia, yang bernama RSA dr Lie Dharmawan. Rumah sakit apung ini memberikan layanan kesehatan hingga pembedahan secara cuma-cuma kepada warga yang kurang mampu dan berada di pulau-pulau terluar maupun kawasan terpencil Indonesia.

dr. Lie mengungkapkan, rumah sakit apung sudah dioperasikan di dunia sejak puluhan tahun lalu. Operatornya biasanya adalah angkatan laut sebuah negara untuk memberikan penanganan kesehatan kala perang.

Pria yang lahir di Padang, 16 April 71 tahun silam ini menuturkan, sebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan tidak semua masyarakat memiliki akses yang sama untuk memperoleh layanan dan penanganan kesehatan. Pun kondisi Indonesia adalah terdiri dari belasan ribu pulau.

“Negara kita adalah negara kepulauan, yang terbaik (untuk menjangkau masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan) adalah dengan kapal,” ucapnya.

Dikutip dari kompas.com, kapal tersebut memiliki panjang hanya sekitar 23 meter, tonase kotor 114 GT, serta tonase bersih 35 NT. Kapal yang dibangun pada tahun 2008 tersebut memiliki bahan utama kayu.

Mereka yang tidak mengetahui atau belum pernah melihat, tidak akan menyangka bahwa kapal ini adalah rumah sakit terapung yang bahkan bisa melayani operasi di lambung kapal. Kapal tersebut, menurut informasi yang dihimpun, dulunya adalah kapal barang yang dibeli dr Lie di Palembang, Sumatra Selatan.

Kapal ini terdiri dari tiga level, yakni level dek, level B1, dan B2. Level dek terdiri dari ruang kemudi, kamar kapten, ruang jurumudi, ruang oiler, dan ruang mualim.

Sementara itu, level B1 terdiri dari kamar bedah, ruang dokter, ruang resusitasi 1 dan 2, ruang sterilisasi, toilet, dan dapur. Adapun level B2 terdiri dari kamar mesin, ruang USG dan rontgen, ruang laboratorium, ruang dokter, ruang pasien, kamar gelap, dan gudang.

Menurut dr Posti Siswati salah seorang tim dokter di RSA menjelaskan bahwa beragam tindakan operasi, baik mayor (besar) maupun minor (kecil), pernah dilakukan di rumah sakit apung ini.

Ia menceritakan, operasi terhadap seorang pasien dari Papua pernah dilakukan. Sang pasien menderita hernia yang benjolannya sudah sebesar buah kelapa. “Operasi caesar juga pernah,” ujar Posti.

Menerut dia, dalam sekali tugas, ada belasan dokter yang ada di dalam kapal tersebut. Sekali berlayar untuk menjalankan tugas kemanusiaan di kapal tersebut dapat memakan waktu 10 hari.

Posti sendiri sudah pernah menjalani 8 tugas berlayar dengan RSA dr Lie Dharmawan. Ia menyebut antara lain ke Sumba Barat, Halmahera, Pulau Doi di Maluku Utara, dan beragam pulau lain di kawasan Indonesia Timur.

Sebuah pengalaman yang luar biasa dapat mengunjungi kapal yang membawa misi sangat baik dan luhur tersebut. Terbayang rasanya menjalankan misi kemanusiaan di tengah kondisi laut yang tak bersahabat.

Dengan mengetahui bahwa masih banyak sesama warga Indonesia yang belum bisa mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan maupun tindakan medis, ada baiknya syukur terus dipanjatkan. Tak lupa, bantulah sesama sebisa mungkin.

EasyScan GO, Mikroskop Pendeteksi Malaria Berteknologi AI

EasyScan GO adalah sebuah mikroskop yang dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang dikembangkan oleh Motic, produsen alat kesehatan asal Tiongkok. Perangkat ini diklaim memiliki kemampuan untuk menghitung parasit malaria secara akurat dalam sampel darah tak lebih dalam waktu 20 menit dengan memanfaatkan algoritma pembelajaran mesin (machine learning algorithm).

Proyek pengembangan EasyScan GO ini merupakan upaya bersama antara Motic and Global Good, sebuah kemitraan antara Intellectual Ventures dan Bill Gates. “Tujuan kami dalam mengintegrasikan perangkat lunak canggih Global Good ke pemindai slide digital bermutu tinggi dari Motic, adalah untuk menyederhanakan dan menstandarkan deteksi malaria,” kata Richard Yeung, Wakil Presiden Motic.

EasyScan GO bekerja melalui kombinasi pemindaian slide digital dan modul perangkat lunak diagnostik berdasarkan pembelajaran mesin dan jaringan syaraf tiruan. Mesin itu dilatih dengan memberi mereka ribuan slide smear darah yang diberi catatan oleh para ahli.

Malaria sendiri tercatat menjangkiti 200 juta orang per tahun, dan 400.000 dari kasus tersebut berakibat fatal. Penyakit ini biasanya ditemukan di negara tropis dan subtropis. Meskipun dokter memiliki tes diagnostik yang cepatnamun saat ini mereka sangat bergantung pada mikroskop untuk mengukur jumlah dan jenis malaria yang ada dalam sampel. EasyScan GO membuat efektivitas pemantauan obat lebih efisien, membebaskan ahli mikroskopis serta membuat kemampuan untuk mengukur strain malaria yang tersedia untuk komunitas medis yang lebih luas.

“Malaria adalah salah satu penyakit yang paling sulit dikenali pada slide mikroskop, Dengan memasang mikroskop pembelajaran dengan mesin di tangan teknisi laboratorium, kita dapat mengatasi dua hambatan utama untuk memerangi diagnosis peningkatan mutasi parasit dalam manajemen kasus dan deteksi standarisasi lintas geografi dan waktu” kata David Bell, Direktur Global Health Technologies yang mendukung Global Good.

Pengukur Tekanan Bola Mata Implan Telah Diujikan Pada Pasien

Implandata, sebuah perusahaan teknologi kesehatan di Hannover, Jerman baru saja mengumumkan bahwa mereka berhasil melakukan implan teknologi yang mereka kembangkan pada seorang pasien.

Alat bernama EYEMATE tersebut berfungsi untuk mengecek dan memonitor tekanan mata intraokular (IOP) pasien secara berkala. Alat tersebut berguna bagi pasien yang mengidap Glaukoma atau kondisi mata yang kurang umum lainnya dimana kondisi tersebut memerlukan laporan kondisi IOP yang berkelanjutan.

Selama ini untuk melakukan pengecekan IOP, pasien harus datang ke rumah sakit dan diukur menggunakan tonometer konvensional. Dengan teknologi EYEMATE, pihak implandata mengklaim bahwa hal ini tidak perlu lagi dilakukan oleh pasien.

EYEMATE terdiri dari implan yang ditempatkan di mata serta perangkat sensor yang diposisikan di depan mata setiap kali akan melakukan pengukuran. Pasien bisa melakukan ini sendiri dengan beberapa langkah mudah. Tinggal menunggu beberapa detik, kemudian hasil tekanan bola mata terbaru pasien dapat diketahui.

Implan pertama yang dilakukan di University Eye Hospital of Bochum, Jerman, merupakan bagian dari studi yang lebih besar untuk mengevaluasi teknologi tersebut dan untuk mencoba ukuran sayatan yang lebih kecil dari 2.7 mm. Jika tekologi ini berhasil, maka EYEMATE digadang-gadang menjadi salah satu teknologi kesehatan revolusioner dalam bidang kedokteran mata.

Ini Perbedaan Deteksi Kanker Payudara Menggunkan USG dan Mamografi

Mamografi, salah satu metode deteksi dini kanker payudara. Foto: sehsuvargokgoz.com

Salah satu cara terbaik untuk mencegah kanker payudara yakni dengan rutin melakukan pemeriksaan klini. Salah satu metode agar mendapat hasil maksimal adalah dengan dilakukannya SADANIS atau Periksa Payudara Klinis.

Sadanis bisa dilakukan dengan dua macam metode yang bisa Anda pilih sesuai keinginan, yaitu dengan menggunkan USG atau mamografi. Apa beda kedua cara tersebut? Berikut penjelasannya dari dr Hardina Sabrida dari Instalasi Deteksi Dini dan Promosi Kesehatan RS Kanker Dharmais yang disadur dari website MetroTVnews.com.

Mamografi menggunakan sinar X, sementara USG menggunakan gelombang suara. Mamografi juga disarankan untuk wanita yang berusia diatas 35 tahun.

“Karena pada usia di bawah 35 tahun payudara masih banyak lemak dan padat sehingga sinar X tidak bisa masuk,” jelas dr Hardina Sabrida.

Namun, mamografi juga bisa dilakukan pada usia di bawah 35 tahun yang mengalami kondisi kesehatan tertentu, seperti operasi atau ada gangguan lain.

Pemeriksaan mamografi disarankan setahun sekali sebagai bentuk preventif dan deteksi dini pada penyakit yang tak memiliki gejala.

Kanker payudara mengalami pertumbuhan yang tak bisa dikontrol di mana umumnya gejala baru akan muncul ketika sudah berada stadium lanjut atau minimal II B.

“Kanker ini terbilang ganas karena masuk ke pembuluh darah dan getah bening, jadi bisa hinggap di organ mana saja seperti hati, tulang belakang, patu, dan lain-lain karena menyebabkan perubahan sel,” pungkasnya.

Wow, Mahasiswa UNS Temukan Alat Bantu Untuk Pasien Patah Tulang

Prototype M2 Hexapod Frame. Foto: Liputan 6

Kolaborasi dosen dan mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) dan dokter dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soeradji Tirtonegoro menghasilkan alat bernama M2 Hexapod Frame yang dapat membantu pasien patah tulang.

Alat yang dipamerkan di JIEXPO Kemayoran pada hari sabtu lalu 11/11/2017) dapat digunakan untuk membantu baik pasien yang mengalami patah tulang ataupun yang memiliki kelainan tulang kompleks dengan cara memasang perangkat eksternal pada tulang yang mengalami deformitas.

“Cara kerjanya seperti alat yang ditanam ke tulang, hanya saja ini bekerja secara external,” ucap Durkes Herlina salah satu mahasiswa UNS yang terlibat dalam penemuan ini.

Durkes mengatakan, alat tersebut memiliki beberapa keunggulan, diantaranya meningkatkan sistem hexapod sebelumnya seperti ring, sistem sambungan, software dan part standar yang berkualitas namun memiliki harga terjangkau.

Dia melanjutkan, alat bantu patah tulang tersebut kemungkinan akan dijual dengan kisaran harga Rp5 juta hingga Rp10 juta.

ResMed Luncurkan Perangkat Untuk Memonitor Kualitas Tidur

SleepScore Max, perangkat pemantau kualitas tidur seseorang. Foto: Medgadget.com

SleepSCore, perusahaan patungan antara ResMed, Pegasus Capital Advisors dan dr. Mehmet Oz meluncurkan sistem pemantauan tidur bernama SleepScore Max.

Perangkat yang terintegrasi dengan aplikasi smartphone tersebut dapat diletakkan pada meja samping tempat tidur pengguna dan nantinya secara otomatis dapat mengamati pasien, merekam peristiwa tidur dan tahap apa yang dialami orang tersebut saat sedang terlelap.

Tak hanya itu, aplikasi tersebut dapat menampilkan “SleepScore” yaitu sebuah penilaian serta grafik kualitas tidur pengguna untuk kemudian memberikan saran tentang cara memperbaiki tidur seseorang. Selain mendapatkan nilai dari waktu tidur, aplikasi ini juga mengambil data tentang aktivitas orang tersebut, seperti makan dan minum.

Selain itu, perangkat ini juga dilengkapi fitur Smart Alarm yang dapat membangunkan pengguna secara lembut pada waktu yang sudah dihitung dan ditentukan secara otomatis, sehingga mereka merasa segar dan siap bangun saat mereka bangun dari tempat tidur.

Perangkat ini bekerja dengan cara menghasilkan gelombang suara 16 kali setiap detik untuk mendeteksi gerakan sekecil apa pun. Aplikasi kemudian memproses data ini dan mendeteksi pernapasan dan saat orang tersebut bergerak di tempat tidur.

Namun sampai berita ini diturunkan, belum ada kabar kapan perangkat ini akan tersedia untuk pasar Indonesia.

Komitmen Ikatan Elektromedis Indonesia Selenggarakan Rakernas

Ikatan Elektromedis Indonesia dinilai sukses dalam penyelenggaraan kegiatan Rapat Kerja Nasional dan Workshop Nasional 2017. Foto: Tribunnews.com

Ikatan Elektromedis Indonesia baru-baru ini sukses menyelenggarakan kegiatan Rapat Kerja Nasional dan Workshop Nasional 2017.

Menurut Agus Komarudin ST.MT, selaku Ketua Umum IKATEMI, acara yang mengambil tema “Kemandirian Berkualitas, Akuntabel dan Berkarakter” ini diikuti oleh 123 peserta dari 33 provinsi yang terdiri dari Dewan Pengurus Pusat (DPP), Dewan Pengurus Daerah (DPD), dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) serta Asosiasi pendidikan tinggi teknik elektromedis.

Menurut Ketua Panitia Muhammad Subchansyah , ST.MT Teknik Elektromedis ini termaksud rumpun tenaga kesehatan yang memilliki ciri khas tersendiri, yakni, satu-satunya tenaga kesehatan yang berbasis di bidang keteknikan.

“Kita tenaga kesehatan yang tidak bertatap muka dengan pasien, tetapi yang kita hadapi adalah alat-alat kesehatan,” tutur Subchansyah.

Dirinya menambahkan, peran teknik elektomedis dari mulai perencanaan, pengadaan, uji fungsi, pengelola dan pemeliharaan. Ketika mengelola dan memelihara ada kerusakan, kami melakukan perbaikan, bila live time sudah habis maka kami melakukan pengkajian apakah alat ini masih bisa digunakan atau tidak, sampai terakhir nanti penghapusan.

Kegiatan ini sendiri rutin diselenggarakan karena bertujuan agar Ikatan Elektromedis Indonesia (IKATEMI) dapat menjadi wadah berhimpunnya para elektromedis dalam menjalin hubungan kemitraan dengan berbagai pihak. Sekaligus meningkatkan mutu pelayanan dan kompentensi profesi elektromedis Indonesia dengan upaya meningkatkan, serta mengembangkan pendidikan teknis elektromedis di tanah air.

LifeIMAGE Lakukan Kolaborasi Dengan Google Cloud

Layanan LifeIMAGE dikabarkan telah berkerjasama dengan Google Cloud guna membantu inisiatif pengobatan presisi global yang matang dengan mengeksplorasi kemampuan perawatan pasien untuk dokter, dan untuk membantu peneliti dalam upaya mengidentifikasi, berbagi, dan meningkatkan pengetahuan mereka dalam industri kesehatan.

LifeIMAGE menyediakan platform pertukaran informasi medis yang memungkinkan pengguna dapat mengakses miliaran gambar dan jutaan informasi klinis ke lebih dari 150.000 penyedia di 1.400 fasilitas kesehatan di seluruh dunia. Sistem ini memungkinkan dokter, pasien, dan ilmuwan data membuat keputusan yang lebih tepat dalam setiap kasus medis.

“Pada akhirnya, apa yang ingin dicapai kolaborasi ini adalah membantu dokter merawat pasien dengan lebih baik,” kata Matthew Michela, Presiden dan Chief Executive Officer LifeIMAGE.

Dengan kolaborasi ini, lifeIMAGE memiliki kesempatan untuk memanfaatkan Google Cloud di berbagai solusi layanan mereka seperti Mammosphere, alat keterlibatan pasien yang mendukung kesehatan wanita dalam mamografi. Selain itu, lifeIMAGE sekarang memiliki kemampuan untuk menggunakan Google Cloud sebagai perpanjangan infrastruktur server dan jaringan hosting hibrida.

“Kolaborasi dengan Google Cloud Platform akan berfokus pada peluang strategis untuk mengurangi beban biaya perawatan kesehatan serta mengelola integrasi mitra di ekosistem digital. Ini juga dapat meningkatkan kualitas wawasan kami dari data genomik, radiomik dan data klinis,” pungkas Janak Joshi, Chief Technology Officer untuk lifeIMAGE.

 

Bali Mulai Lirik Potensi Medical Tourism

Rumah Sakit Bali Mandar. Foto: nusabali.com

Mencuatnya tren wisata medis atau medical tourism membuat pemerintah provinsi Bali turut menjajaki sektor potensial tersebut.

Untuk mulai mewujudkannya, kabarnya pihak Dinkes Bali mulai mendata kekuatan rumah sakit swasta dan daerah di Pulau Dewata untuk dijadikan jejaring medical tourism.

Kadis Kesehatan Bali Ketut Suarjaya mengatakan bahwa setelah dipetakan keunggulan masing-masing rumah sakit, maka pihaknya akan menyodorkan konsep ini kepada industri pariwisata.

“Dengan adanya jejaring ini, turis ke Bali sudah bisa disodorkan penanganan penyakit ada di rumah sakit mana saja. Jadi tidak di satu rumah sakit saja,” jelasnya seperti dilansir bisnis.com.

Menurutnya, jejaring itu dibuat untuk membentuk jaringan rumah sakit yang memiliki kemampuan terspesialisasi.

Dia mencontohkan, bisa saja nantinya untuk di RS Bali Mandara spesialis medical spa dan kanker, RSUP Sanglah unggulan penyakit jantung dan begitu pula rumah sakit lainnya.

Dengan cara itu, setiap rumah sakit saling melengkapi baik berstatus daerah maupun swasta.

Suarjaya melanjutkan, medical tourism di Bali sangat potensial digarap serius. Meskipun orang sakit tidak sebanyak jumlah orang berwisata, tetapi keberadaan rumah sakit dengan keunggulan masing-masing akan membantu wisatawan.