Upaya menarik minat warga Indonesia agar lebih memilih tetap di dalam negeri daripada berobat keluar negeri masih menemui tantangan. Baik dari pelayanan, peralatan kesehatan, dan biaya besar yang salah satunya datang dari beban pajak alkes dan obat.
Dilansir dari Pikiran Rakyat (08/03/2023), menurut data dari Medical Tourism Index 2020-2021, negara Asia Tenggara yang unggul menjadi destinasi wisata medis antara lain Singapura di peringkat 2 dan Thailand di peringkat 17. Sementara 30 besar terdapat Filipina di peringkat 24.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan, selain lebih murah dan pelayanannya lebih nyaman, warga Indonesia memilih berobat ke luar negeri karena alat kesehatannya yang sangat lengkap. Padahal, dengan sumber daya manusia dan rumah sakit yang dimiliki, Indonesia sebetulnya bisa menjadi tuan rumah bagi warganya sendiri untuk mengakses pelayanan kesehatan.
Pada tahun 2006 saja sedikitnya ada 350 ribu masyarakat Indonesia yang berobat keluar negeri. Kemudian jumlahnya meningkat sembilan tahun kemudian sebanyak 600 ribu orang. Angka ini menunjukkan peningkatan hampir dua kali lipat.
Menurut Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, “Peningkatannya cukup tajam. Total pengeluaran yang dikeluarkan warga Indonesia untuk berobat ke luar negeri bisa mencapai 11,5 miliar dolar AS per tahun. Dari jumlah itu, 80 persennya dihabiskan di Malaysia.”
Berharap Pemerintah Mengkaji Lagi Pajak Alkes dan Obat
Faktor yang diyakini cukup signifikan mempengaruhi biaya berobat di dalam negeri salah satunya adalah pajak barang mewah yang dikenakan pada alat kesehatan. Beban biaya ini menjadi lebih terasa ketika ada alat kesehatan yang masih harus diproduksi di luar negeri. Apabila ada keringanan pajak maka beban operasional fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dapat berkurang. Dampaknya akan dirasakan pula oleh masyarakat.
Bambang menyatakan, pajak untuk beberapa alat kesehatan hampir mencapai nol persen di Malaysia. Otomatis biaya berobat di sana jauh lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.