Universitas Gajah mada (UGM) tengah berencana untuk membangun pabrik milik sendiri yang akan memproduksi alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan. Hal tersebut dibahas pada diskusi UGM dan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) RI di Yogyakarta (12/04/2019).
“Setidaknya produk-produk ini bisa mengantikan beberapa produk impor dengan standar SNI,” ucap Peneliti nanoteknologi biokeramik dari FKG UGM drg Ika Dewi Ana.
Dirinya mengatakan juga bahwa pengembangan produk kesehatan melalui produksi sendiri oleh pabrik milik UGM ini untuk menyongsong kemandirian bangsa di bidang kesehatan. Selain itu, langkah ini dikarenakan sulitnya untuk mengakses produsen obat di dalam negeri yang lebih banyak memprioritaskan obat dan alat kesehatan dari luar.
“Kompetisi bangsa kita dalam teknologi kesehatan masih sangat rendah sekitar 97,2 persen alat kesehatan kita masih impor,” lanjutnya.
Terkait hal ini, maka UGM telah menyiapkan lahan seluas dua hektar yang rencananya akan diresmikan dalam waktu dekat.
Sementara itu, akar obat herbal Prof Subagus menuturkan bahwa saat ini potensi obat herbal dari sumber keanekaragaman hayati semakin banyak dilupakan padahal Indonesia memiliki potensi sumber obat herbal namun hanya ada lima produk yang sudah dipasarkan.
Minimnya produksi obat herbal tersebut menurutnya disebabkan industri obat dalam negeri lebih suka bekerja sama dengan industri dari luar negeri dengan hanya mendapat lisensi untuk bisa dipasarkan ke dalam negeri.
“Kalau seperti ini peneliti itu mau jadi apa? berjalan sendiri? Bagaimana kita bisa mengatakan biodiversitas memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat,” jelasnya.
Apa yang dilakukan oleh UGM untuk mendirikan pabrik farmasi dan alat kesehatan diharapkan bisa memberikan harapan agar biodiversitas bisa dikembangkan sebagai sumber obat herbal dengan melibatkan masyarakat petani untuk diajak menanam.