Postur anggaran kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita tak pernah mencapai dua digit. Padahal bidang kesehatan serta pendidikan dan sistem jaminan sosial merupakan tiga pengeluaran besar dalam konsep negara kesejahteraan yang dianut mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia (Moran, 2000).
Degradasi politis dunia kesehatan tak berlangsung begitu saja. McKinlay (2002) menganalogikan proses tersebut dengan runtuhnya dominasi sosial gereja di Eropa. Dokter, sebagai representasi utama layanan kesehatan, berdiam di dalam “kuil pendeta” (baca: rumah sakit) seraya menunggu pasien yang akan datang berobat. Standar ritual-ritual tertentu dan seragam khasnya membuat mereka mendapatkan status sosial yang setara dengan pendeta keagamaan.
Revolusi Industri pada abad ke-19 memaksa semua profesi terlibat dalam proses produksi barang dan jasa serta mereduksi tenaga kesehatan menjadi penyedia layanan jasa belaka, laiknya jasa konsultasi rohaniwan (Stoeckle, 1988). Navarro(1976) menyebut perubahan tersebut sebagai layanan statis yang berubah menjadi moda bergerak untuk memenuhi tuntutan konsumen. Saya menganalogikannya sebagai transformasi “kuil” menjadi “ambulans”.
Sosok ambulans dengan sirene yang meraung-raung sering dikaitkan dengan proses kegawatdaruratan medik bagi mereka yang tengah jatuh sakit. Itu sebabnya paradigma pembangunan kesehatan kita masih enggan beranjak dari kacamata kuda kuratif, alih-alih promotif-preventif sebab yang pertama bersifat “aksi” ketimbang omongan (baca: penyuluhan) belaka. Pemerintah dan masyarakat kita masih memandang layanan kesehatan baru berfungsi sempurna jika ia laksana ambulans yang bergerak ke sana-kemari. Ia tak dibutuhkan jika tak ada orang sakit. Tak mengherankan jika sektor kesehatan diidentikkan dengan layanan kuratif dan bentuk-bentuk layanan kedokteran lainnya (Barr et al, 2004).
Paradigma ambulans ini tecermin jelas dalam tindakan beberapa kepala daerah, seperti Gubernur Jakarta Jokowi yang mengubah belasan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Ibu Kota menjadi rumah sakit kecamatan pada 2013. Pandangan “besar sedikit ubah jadi rumah sakit” menjadi dogma bagi para pemangku kebijakan.
Selama 2012-2018, jumlah rumah sakit swasta nirlaba melonjak 17,5 persen setiap tahun. Bandingkan dengan rata-rata pertumbuhan puskesmas yang hanya 3-5 persen per tahun (Laksono & Listyani, 2018). Padahal paradigma sehat tak terbentuk di rumah sakit, karena rumah sakit tak punya beban wilayah kerja, tapi pada kelompok masyarakat yang belum jatuh sakit dan merupakan tanggung jawab puskesmas. Mustahil mendidik pola hidup sehat pada orang-orang yang tengah meradang dan butuh layanan sesegera mungkin. Tak mengherankan bila kita tak mampu menekan insiden penyakit katastrofik yang melahap porsi terbesar anggaran Jaminan Kesehatan Nasional.
Disepelekannya sektor kesehatan kian terlihat jelas pada defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pemerintah tak berusaha mencari solusi komprehensif karena “ambulans” masih berjalan seperti biasa. Ini sebetulnya “bom waktu” yang membuat “ambulans” suatu saat mogok. Gejala-gejalanya mulai tampak. Ratusan rumah sakit umum daerah (RSUD) sudah tak mampu membayar jasa medik petugas kesehatan dan malah diarahkan untuk “gali lubang tutup lubang” dengan meminjam dana via mekanisme supply chain financing. Di bidang farmasi, tunggakan pembayaran BPJS Kesehatan mengakibatkan RSUD tak mampu membayar perusahaan farmasi dan berujung pada kekosongan obat.
Selain rencana menaikkan iuran BPJS pada 2020, pemerintah semestinya lebih cerdik mencari sumber-sumber pembiayaan cepat lain tanpa membebani kondisi keuangan negara yang tengah defisit. Penerbitan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional agar BPJS Ketenagakerjaan dapat membantu BPJS Kesehatan secara finansial patut dikedepankan. Solusi tentatif tersebut memberikan sedikit ruang fiskal bagi keberlangsungan hidup BPJS sebelum menerapkan solusi jangka panjang lain, seperti menaikkan tarif cukai rokok, relokasi dana konversi energi, serta mendisiplinkan manajemen pengelola dan peserta BPJS Kesehatan.
Proses pembangunan hanya bisa berjalan maksimal jika didukung oleh sumber daya manusia yang sehat dan produktif serta berkualitas. Arah dan kebijakan pembangunan itu sendiri juga amat bergantung pada paradigma politis pemimpinnya (Notoatmodjo, 2008). Sebuah studi menunjukkan korelasi positif antara paradigma politis suatu pemerintahan dan derajat kesehatan masyarakatnya (Navarro et al, 2016). Di Jerman pada abad ke-19, misalnya, Otto von Bismarck menginisiasi asuransi sosial dan kesehatan pertama di dunia karena menginginkan sumber daya manusia yang tangguh bagi dunia usaha dan angkatan perang (Bump, 2010).
Di Indonesia, asas klasik gotong-royong seharusnya menjadi paradigma politis yang dianut bangsa, tak sekadar memandangi “ambulans” sektor kesehatan hilir-mudik sendirian.
Artikel asli ditulis oleh Muhammad Hatta (Dokter alumnus Manajemen Kesehatan University of Illinois, Chicago), dan dimuat di Situs Tempo