Walau masih belum terlalu banyak, namun dewasa ini teknologi drone sudah dimanfaatkan dalam sektor kesehatan. Swoop Aero, startup asal Australia memanfaatkan teknologi drone yang dikembangkannya untuk mengirimkan vaksin penting ke daerah terpencil di negara pulau Pasifik Vanuatu dalam proyek percobaan yang didanai UNICEF dan pemerintah Australia.
Sekitar 60 persen distribusi darah untuk keperluan medis, dikirimkan ke ibukota Rwanda Kigali menggunakan drone milik Zipline, startup asal Amerika Serikat. Saat ini layanan mereka dikabarkan sudah meluas ke ke Tanzania dan Ghana. Sementara itu, Wing X, startup pengembang drone yang juga merupakan anak perusahaan Google telah mengantongi ijin dari pemerintah setempat untuk mengoperasikan dronenya guna mengirim obat-obatan dan keperluan medis lain.
Sementara itu, menurut situs Bisnis.com, selama 5 tahun terakhir, perkembangan program imunisasi di Indonesia tidak begitu signifikan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan RI, terlihat bahwa cakupan status imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak usia 12-23 bulan menurun dari 59,2% (2013) menjadi 57,9% (2018).
Angka ini menunjukkan bahwa dari sekitar 6 juta anak berusia 12-23 bulan masih ada sekitar 3,5 juta anak belum mendapatkan imunisasi lengkap. Terlebih lagi, angka imunisasi dasar lengkap anak di perdesaan lebih rendah (53,8%) dibandingkan dengan anak-anak di perkotaan (61,5%).
Salah satu penyebab hal kurang sedap tersebut adalah karena kurangnya fasilitas kesehatan di 6.000 pulau di Indonesia dan kurang memadainya transportasi ke daerah terpencil. Untuk menjangkau wilayah-wilayah pedalaman atau terpencil di Indonesia memang masih penuh dengan tantangan. Selain tantangan fasilitas kesehatan dan transportasi, menjaga kualitas vaksin merupakan persoalan penting lainnya. Vaksin harus disimpan dan dijaga pada suhu dan waktu tertentu untuk mempertahankan kualitasnya.
Tak hanya itu, akibat sulitnya kases ke pulau dan daerah terpencil di Indonesia kerap ditemui stok obat di Puskesmas wilayah tersebut hanya tersedia sebanyak 20-50% dari sekitar 300 obat-obatan penting yang semestinya tersedia. Angka ini juga masih jauh di bawah standar WHO yang mensyaratkan kecukupan suplai setiap saat.
Terkait dengan dua fakta yang sudah di jabarkan di atas mengenai pemanfaatan teknologi drone dan sulitnya akses ke daerah terpencil di Indonesia yang menyebabkan terkendalanya pengantaran vaksin dan obat-obatan, memang nampaknya perlu ada pihak-pihak yang setidaknya mencoba untuk memanfaatkan drone untuk hal ini. Dan tentunya pemerintah juga turut serta mendukung.
Drone yang selama ini dipakai oleh Swoop Aero dan Zipline, tercatat dapat terbang sejauh maksimal 80 kilometer, sehingga diperkirakan hanya butuh tidak sampai setengah jam untuk membawa vaksin dan obat-obatan dari kota terdekat ke wilayah terpencil yang dituju. Karena drone bisa secara gesit bergerak dan terbebas kendala, baik di darat maupun kepulauan.
Drone yang mereka gunakan diketahui juga mampu mengangkut 40 botol vaksin dalam sekali pengiriman. Dengan frekuensi terbang maksimal 30 drone dengan selang penerbangan setiap 30 detik.
Menurut Prof dr Budu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, jika pemerintah kita mau mengadopsi teknologi drone untuk sektor kesehatan dengan mengambil momentum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Daerah yang baru, maka kendala distribusi vaksin dan banyak bantuan medis lainnya, dapat terpecahkan secara efektif.
“Indonesia memerlukan terobosan yang lebih inovatif, yang dapat memastikan pengiriman bantuan vaksin dan bantuan medis lainnya menembus kendala jarak dan waktu,” tandas dr. Budu sebagaimana MedX kutip dari situs Bisnis.com.