Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan telah menggandeng Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menjamin kehalalan untuk produk obat-obatan, alat kesehatan (alkes) dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, Kemenkes juga sudah menyerukan agar produsen dan stakeholder dari industri terebut untuk memperhatikan kehalalan produk mereka.
“Selama ini Kemenkes telah melakukan upaya penyebaran informasi kepada industri farmasi, mengenai adanya Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,” tegas Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Farmalkes) Kemenkes RI, Engko Sosialine Magdalene.
Nantinya, hasil dari kerja sama ini akan melahirkan fasilitas sertifikat halal bagi alat kesehatan, obat-obatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Lalu merekomendasi pencabutan Sertifikat Halal dan Label Halal bagi produk yang tidak sesuai aturan. Serta tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Produk yang beredar di masyarakat ini, lanjut Engko, harus terjamin keamanan, khasiat, manfaat, dan mutunya. Untuk itu pembuatan obat-obatan mulai dari produksi, peredaran, distribusi, hingga penyerahan harus dilakukan sesuai standar dan persyaratan.
“Dalam hal peredaran, obat-obatan harus memperoleh izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat-Obatan dan Makanan). Selain itu, terkait standar atau persyaratan juga harus memenuhi ketentuan mengenai penandaan atau label yang diatur oleh BPOM,” papar Engko.
Kendati begitu, saat ini memang 98 persen obat-obatan yang masih belum bisa dipastikan kehalalannya. Terkait hal tersebut, Engko menjelaskan tentang ketentuan PP No. 31 tahun 2019, dimana disebutkan sertifikasi halal untuk obat-obatan tidak dilakukan oleh Kemenkes RI, melainkan oleh lembaga yang berwenang. Di PP yang sama juga diatur bahwa penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang dikenakan kewajiban (termasuk obat), dilakukan secara bertahap.
Ketentuan mengenai penahapan tersebut didelegasikan untuk diatur dalam Peraturan Menteri Agama, setelah berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait. Di dalamnya mengatur salah satunya adalah mengenai produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
PP No. 31 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal itu, menyebutkan produk yang bersertifikat halal harus memenuhi proses produk halal. Proses tersebut adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup tujuh poin.
Yakni penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Ketujuh aspek tersebut harus terpenuhi kehalalannya, sehingga bagi industri obat dan vaksin yang proses produksinya cukup rumit, perlu melakukan usaha yang lebih keras untuk dapat memenuhi itu.
“Sementara terkait sediaan farmasi (termasuk vaksin) agar dapat diedarkan, harus memiliki izin edar yang diberikan oleh BPOM. Ketentuan mengenai izin edar sediaan farmasi diatur oleh BPOM,” pungkas Engko.