Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, hari ini, Kamis (29/08) menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) VII di Jakarta dengan tema “Gakeslab Menjawab Tantangan Dunia Usaha Alkes dengan Menjadi Profesional Berintegritas”.
Tema tersebut diambil karena pihak Gakeslab merasa bahwa industri alat kesehatan (alkes) sedang dihadapkan pada urgensi tata kelola alat kesehatan yang perlu dibenahi demi memastikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai standar.
Ketua Dewan Penasehat Gakeslab DKI Jakarta dan Banten, Surya Gunawan Widjaja mengatakan masih banyak kelemahan dalam kebijakan dan tata kelola alat kesehatan yang berdampak masif bagi bisnis alat kesehatan.
Adapun beberapa kondisi yang dimaksud contohnya adalah seperti semakin ditekannya anggaran Pusat dan Daerah untuk dana alat kesehatan, penetapan harga di e-katalog yang sangat rendah, keterlambatan pembayaran dari fasilitas kesehatan, ditambah lagi dengan turun tayangnya e-katalog sejak tanggal 1 Agustus ini.
“Semua produk turun tayang di e-katalog sudah sejak tanggal 1 (bulan Agustus – red) kemarin. Biasanya kalau turun tayang, paling seminggu kita upload sudah keluar lagi. Tapi sekarang gak bisa. Ini kan dampaknya kurang bagus. Pasien, masyarakat dan rumah sakit tidak bisa mendapatkan barang yang dibutuhkan, perusahaan alkes tidak dapat order,” jelas Surya.
Padahal menurutnya, berdasarkan peraturan UU Kesehatan No. 36/2009, penyedia alat kesehatan memiliki kewajiban untuk menyediakan alkes yang aman, bermutu, dan berkinerja.
Tak hanya itu, kondisi tersebut juga mendorong persaingan yang tidak sehat di antara penyedia alat kesehatan akibat semakin minimnya margin keuntungan yang diperoleh.
“Penyedia alat kesehatan dibebankan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang besarannya mencapai 20%-30%, sehingga kami harus memiliki modal setidaknya 120%-130% persen untuk membiayai pesanan dari e-katalog. Ditambah, banyak fasilitas kesehatan yang masih menunggak pembayaran dengan alasan dana BPJS atau Pusat yang belum cair, termasuk pesanan di tahun 2017-2018. Resiko yang harus ditanggung penyedia alat kesehatan sangat tidak manusiawi,” papar Surya.
Menanggapi pembayaran alat kesehatan yang tidak tepat waktu, Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, SH mengungkapkan BPJS tengah mengalami defisit dana fasilitas kesehatan yang berakibat terganggunya pembiayaan alat kesehatan.
Untuk itu dirinya mendorong pihak Gakeslab untuk meningkatkan kualitas posisi tawarnya di mata pemerintah. Sehingga pembayaran untuk perusahaan alkes jangan sampai termarjinalkan.
Namun Timboel menyebutkan bahwa Suppy Chain Financing dapat menjadi solusi. Dimana fasilitas kesehatan diberikan akses pembiayaan dari bank ataupun institusi finansial lainnya untuk belanja alat kesehatan dengan suku bunga yang lebih rendah dari pasar mengingat ini adalah industri kesehatan.
“Dengan mekanisme ini, penyedia alat kesehatan akan dimudahkan dimana arus kasnya tidak lagi terganggu dengan kemungkinan keterlambatan pembayaran dari fasilitas kesehatan,” jelas timbul.
Sementara itu, menanggapi persaingan yang tidak sehat di antara penyedia alat kesehatan, Timboel menambahkan pentingnya peran Gakeslab dalam menegakkan kode etik mengingat industrinya yang berkaitan erat dengan sisi kemanusiaan.
“Penyaluran alat kesehatan yang aman dan berkualitas harus terus menjadi prioritas penyedia alat kesehatan. Jangan sampai terpancing melakukan praktik yang tidak beretika karena hanya akan menimbulkan masalah hukum apabila alat kesehatan yang disalurkan tidak memenuhi kriteria. Kuncinya adalah meningkatkan daya tawar dengan praktik yang beretika, bukan justru mengesampingkan kualitas alat kesehatan untuk mengkompensasi harga murah. Gakeslab sebagai asosiasi juga harus berbenah diri secara internal demi membangun praktik bisnis yang sehat dan memberikan pelayanan kesehatan yang bermanfaat”, tegas Timboel.
Sementara itu, Ketua Umum Gakeslab Indonesia Drs. H. Sugihadi, HW, MM mengatakan sejumlah upaya telah dilakukan Gakeslab dalam membina anggotanya agar tetap Profesional dan Berintegritas menghadapi beragam tantangan yang ada.
“Kami rutin mengadakan pelatihan Cara Distribusi Alat Kesehatan Yang Baik (CDAKB), berkoordinasi dengan divisi pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta senantiasa patuh terhadap standar kode etik industri yang berlaku yakni APACMed,” tutup Sugihadi.