Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter), Rabu (24/5). Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 yakni mendengar keterangan Pemerintah dan Pihak Terkait.
Staf Ahli Kemterian Kesehatan Bidang Hukum, Barlian, menjelaskan pentingnya kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam praktik kedokteran. Atas dasar itulah, UU Praktik Kedokteran disahkan.
“Namun demikian, pengaturan dalam undang-undang a quo belum mengatur secara komprehensif hal-hal terkait penataan pendidikan kedokteran. Maka secara khusus, diaturlah hal-hal yang terkait dengan pendidikan kedokteran dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut, jelasnya, Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran menyebutkan organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk dokter gigi. Ketentuan tersebut menegaskan IDI dan PDGI-lah yang merupakan satu-satunya organisasi profesi untuk dokter dan dokter gigi yang diakui Pemerintah melalui undang-undang. “Tujuannya untuk memudahkan Pemerintah melakukan pembinaan, pengawasan, pengenaan sanksi, serta peningkatan mutu profesi dokter dan dokter gigi dalam kerangka melindungi kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Terkait uji kompetensi dokter dan dokter gigi, Barlian menyebut hal itu merupakan rangkaian proses yang wajib dilalui mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi. Setelah proses tersebut, mereka akan mendapat sertifikat kompetensi.
“Sertifikat kompetensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 dan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d Undang-Undang Praktik Kedokteran, diberikan oleh kolegium kepada dokter yang akan berpraktik. Sementara itu, Undang-Undang Pendidikan Kedokteran mengatur tentang sertifikat profesi yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada lulusan baru dari program profesi dokter. Sehingga kedua ketentuan dari undang-undang tersebut tidak dapat dipertentangkan. Permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma undang-undang,” paparnya.
Senada dengan itu, Kuasa Hukum IDI Muhammad Joni berpendapat perkara yang diajukan Pemohon bukan permasalahan konstitusionalitas norma. Permohoan tersebut sebatas permasalahan pelaksanaan norma undang-undang. “Ini hanya riak permasalahan penyelenggaraan internal IDI. Keterangan Pihak Terkait ini mendudukkan keberadaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi Medical Doctor Association sebagai pilar penyelenggaraan praktik kedokteran untuk menciptakan kepercayaan profesional (professional trust) dan perlindungan pasien sebagaimana dianut dalam tujuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004,” tegasnya.
Adapun Pemohon adalah tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memperdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter.
Sumber artikel : situs Ikatan Dokter Indonesia (IDI)