Salah satu isu dalam industry medis di Indonesia yang saat ini sedang disorot adalah terkait mahalnya harga obat, terutama obat non generik. Bahkan lebih mahal tiga hingga lima kali lipat dari Malaysia.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin buka suara terkait hal ini. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya inefisiensi distribusi. Dirinya juga menyebut bahwa pajak juga berkontribusi pada harga produk farmasi, namun sebenarnya persentase tidak sesignifikan tata niaganya.
Dirinya melanjutkan, masalah mahalnya harga obat-obatan di Indonesia bisa diatasi dengan transparansi dalam distribusinya maupun pengadaannya. Selain harga obat-obatan, masyarakat di Indonesia juga harus membayar lebih mahal untuk alat-alat kesehatan (alkes). Sedangkan pengenaan bea untuk komponen alat kesehatan ataupun biaya-biaya tak terduga membuat industri kesehatan Indonesia sulit bersaing dengan produk impor.
Dirinya berujar, mahalnya biaya layanan kesehatan juga secara tidak langsung ikut membebani keuangan negara. Pasalnya, nyaris semua layanan kesehatan di Tanah Air saat ini terlayani BPJS Kesehatan.
“Kalau layanan kesehatan ini sekarang hampir semuanya dibayar BPJS. Jadi, balik lagi, kalau (biaya layanan kesehatan) mahal, nanti pemerintah yang akan bayar (mengeluarkan biaya). Itu sebabnya kita harus mencari kombinasi yan semurah mungkin,” jelas Budi.
Budi menyatakan bahwa dari pihak pemerintah, akan memangkas tata perdagangan obat dan alkes di Indonesia. Sebab, panjangnya rantai perdagangan obat dan alkes selama ini membuat harga obat dan alkes menjadi mahal karena menimbulkan peningkatan harga yang tidak perlu.
“Dalam tata perdagangannya kita itu terlampau panjang rantainya, itu mesti dirapikan,” pungkas Budi.
Sementara itu, dikutip dari situs katadata.co.id, pemerhati kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa perlunya pencantumah harga pada kemasan produk obat. Dirinya mencontohkan bahwa di india, setiap kemasan obat selalu tercantum harga jual. Hal itu membuat harga obat akan sama di manapun tempat membelinya, termasuk kalau berbeda kota.
Penetapan harga standar yang tercantum di kemasan menurut Tjandra memiliki dua manfaat. Pertama masyarakat jadi tahu persis harganya karena tercetak di kemasan obat. Keuntungan kedua masyarakat memiliki kepastian soal harga meski membeli obat serupa di tempat berbeda.