Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf meminta kepada pemerintah Indonesia agar impor alat kesehatan (alkes) dan bahan baku obat (BBO) jangan dijadikan sebagai pemasukan negara. Sebab alkes dan BBO justru harus menjadi fasilitas negara untuk melayani publik.
Dede melanjutkan, Komisi IX telah rekomendasi kepada pemerintah agar pajak alkes dan BBO tidak digolongkan sebagai barang mewah yang dikenakan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM). Sebab ketika rumah sakit (RS) membeli alkes tersebut, maka ada biaya lebih yang harus dibebankan ke pasien.
“RS membeli harus ada investasi kembali, itu dibebankan ke biaya pasien. Harus ada intervensi dari pemerintah, khususnya soal pajak. Rekomendasi kami adalah BBO, alkes yang 70–80% masih impor itu bisa diturunkan, tidak disamakan dengan barang mewah,” singkatnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng Faqih juga mengeluhkan soal pengenaan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) bagi alkes dan bahan baku obat.
Kebijakan seperti ini kata dia yang membuat layanan medis di Indonesia kalah saing dengan rumah sakit asing. Padahal, Indonesia ingin mengusung medical tourism, sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara lain.
“Ini (medical tourism) baru inisiatif, tetapi kalau tidak didukung oleh kebijakan pajak di bidang teknologi atau alkes dan obat, itu nanti hasilnya susah bersaing. Kita kalah karena dibebani pajak tinggi,” tutur Daeng seperti MedX kutip dari Validnews.
Soal tarif bea masuk impor alkes, Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu menetapkan jika barang impor tersebut dikenakan bea masuk paling tinggi sebanyak 40% dari nilai pabean.
Adapun bea masuk itu, juga dapat dikenakan berdasarkan tarif masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. Besaran tarif itu juga ditentukan oleh jenis bahan baku alkes tersebut.