Wakil Menteri Kesehatan Prof. Dante Saksono Harbuwono menekankan pentingnya integrasi dan digitalisasi data kesehatan. Hal ini ia sampaikan dalam sambutannya di acara UNDP Indonesia Policy Volume bertema Bright Prospect, Lingering Shadows: Toward an Inclusive Digital Transformation in Indonesia.
Acara yang berlangsung di Gedung Tri Brata, Jakarta, Senin (11/11) ini dimanfaatkan oleh beliau untuk integrasi data nasional. Kemudahan akses layanan kesehatan melalui konektivitas dan integrasi data secara nasional adalah kunci dalam mewujudkan visi Indonesia Sehat.
Visi Indonesia Sehat ini juga mendukung pilar keenam transformasi kesehatan: transformasi teknologi kesehatan.
Prof. Dante juga menekankan perlunya keberlanjutan dalam pengembangan transformasi digital di bidang kesehatan. Salah satu langkah konkret yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan adalah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan.
Peraturan tersebut tertuang pada Nomor HK.01.07/MENKES/1568/2024 mengenai Sistem Monitoring Inventaris Logistik Kesehatan secara Elektronik.
Pentingnya Transformasi Digital Kesehatan
Wamenkes menuturkan bahwa kegiatan yang diadakan oleh UNDP ini dapat memberikan masukan penting bagi Kemenkes. Prof. Dante menekankan bahwa transformasi digital harus bersifat inklusif. Dengan begitu manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Bagaimanapun, kemajuan teknologi harus dirasakan oleh banyak orang dan tidak boleh ada yang tertinggal,” kata Wamenkes Prof. Dante dilansir dari Press Release ID (11/11/24).
Sementara itu, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, Norimasa Shimomura, menyoroti tiga faktor yang menghambat penyebaran kebijakan publik.
Ketiga faktor itu adalah kesenjangan digital, standar etika, dan polarisasi. Menurutnya, transformasi digital bisa menjadi sarana efektif untuk mendekatkan berbagai kebijakan kepada masyarakat.
Kesenjangan Digital yang Perlu Menjadi Perhatian
Norimasa Shimomura dari UNDP menggarisbawahi empat isu utama terkait kesenjangan digital.
Pertama, akses digital yang timpang: misalnya, pengguna internet di Jakarta mencapai 84,7%, sementara di Papua hanya 26,5% untuk usia di atas lima tahun.
Kedua, kesenjangan gender dan usia. Terdapat perbedaan akses internet antara laki-laki dan perempuan. Meski terjadi tren menurun pada 2022, namun perempuan lanjut usia di pedesaan dan dengan pendidikan rendah masih menghadapi kendala akses.
Ketiga, risiko disinformasi. Setidaknya 82 juta warga Indonesia rentan terhadap propaganda digital, khususnya jelang Pemilu 2024. Sementara itu Gen Z sebagai kelompok paling rentan.
Keempat, polarisasi ruang gema (echo chambers) di platform daring. Hal ini berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan menghambat dialog.
Wamenkes Prof. Dante menyatakan bahwa masukan dari UNDP ini sangat berharga dalam memahami kesenjangan digital yang perlu diatasi dalam pengembangan kebijakan kesehatan yang inklusif.
“Melalui kolaborasi, kita bisa mengatasi kesenjangan digital, menjaga standar etika, dan meredam polarisasi sosial. Ketika itu dilakukan, manfaat transformasi digital dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia,” tutup Prof. Dante.