Bagi orang awam, ketika mendengar kata nuklir maka sebagian besar akan terbayang tentang bom dan perang. Paahal dalam dunia kedokteran, teknologi nuklir digunakan untuk berbagai diagnostik dan terapi. Hal tersebut disampaikan oleh dr. Bangbang Aryanto SpKN-TM dari Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta.
“Jadi, kedokteran nuklir itu pelayanan, sumber pelayanan kesehatan yang menggunakan sumber radioaktif terbuka untuk peranan diagnostik, in vitro (di lab) maupun in vivo (dalam tubuh), untuk terapi dan penelitian,” ucap Bangbang sebagaimana dikutip dari situs Antara.
Adapun perbedaannya dengan radiologi adalah sumber energi radiasi tertutup yang berasal dari alat, seperti X-ray, CT scan, dan MRI. Dirinya melanjutkan, bahwa di kedokteran nuklir, sumber radiasi diberikan terbuka melalui intravena (lewat pembuluh darah). Lalu disuntikkan, dihirup, ditelan, lalu masuk ke dalam tubuh sehingga pasien sendiri yang akan memancarkan radiasi tersebut. Kemudian, radiasi yang dipancarkan oleh pasien tersebut ditangkap oleh kamera gamma sehingga ada citranya.
Lebih lanjut dr. Bangbang mengungkapkan, dengan teknik kedokteran nuklir, fungsi organ juga dapat diketahui secara lebih presisi dalam diagnosis. Misal dalam pemeriksaan ginjal yang menggunakan USG, dapat diketahui bentuk dan kontur ginjal, namun tidak diketahui fungsi ginjal tersebut. Sementara itu, ujarnya, dengan menggunakan teknik kedokteran nuklir, meski tidak diketahui kontur dan bentuknya, fungsi ginjal tersebut dapat diketahui, seperti persentase dan tingkat laju filtrasi glomerular yang dihitung dalam mililiter per menit.
Adapun contoh penggunaan teknik kedokteran nuklir yang paling sering digunakan adalah untuk pasien-pasien kanker tiroid, menggunakan iodium-131.
“Dengan iodium radioaktif ini, kita menggunakan paparan sinar betanya untuk menghancurkan kelenjar tiroid,” pungkas dr. Bangbang.