Akses obat dan alat kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Akan tetapi masih terjadi perbedaan standar, regulasi, dan kebijakan antara negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini menjadi hambatan dalam mencapai tujuan tersebut.
Untuk itu, 11 negara di kawasan ini telah membentuk sebuah jejaring kerja sama bernama SEARN (South East Asia Regulatory Network). Tujuannya untuk memperkuat sistem regulasi obat dan produk medis di Asia Tenggara.
Indonesia menjadi penyelenggara pertemuan jaringan regulator Asia Tenggara WHO (WHO-SEARN) Assembly. Kegiatan ini berlangsung dari Senin sampai Kamis, 24–27 Juli 20231. BPOM, yang terlibat aktif dalam forum SEARN bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), memberikan dukungan penuh untuk pelaksanaan SEARN Assembly.
SEARN Assembly bertujuan untuk menghasilkan keputusan strategis dan tertinggi oleh jaringan regulator berdasarkan kesepakatan anggota SEARN. Salah satunya mengadopsi rancangan strategi kerja yang dibahas pada kelompok kerja dan kelompok pengarah.
Menjadi penyelenggara SEARN Assembly 2023 merupakan bentuk komitmen kesiapan Indonesia. Hal ini disampaikan pada rapat Kepala Otoritas Regulator Obat SEARN berlokasi di New Delhi pada 7-8 Juni 2022 lalu.
Kolaborasi untuk Mempermudah Akses Obat dan Alat Kesehatan
Terdapat beberapa hal penting yang dibicarakan pada pertemuan ini. Di antaranya membahas perlunya kerja sama antara otoritas regulator obat. Kolaborasi ini dilakukan untuk mengawasi kualitas obat, pengembangan dan penegakan standar. Juga mengontrol obat dan produk medis lainnya.
Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito, dalam pidatonya menyampaikan bahwa sesuai dengan tema tahun ini, kerja sama dan kolaborasi antara otoritas regulator obat negara anggota SEARN dapat mengatasi tantangan dalam hal pengawasan obat.
Upaya bersama SEARN dalam memperkuat sistem regulasi dan mendorong lanskap regulasi yang harmonis di kawasan ini akan memudahkan pergerakan produk obat lintas negara.
“Melalui SEARN, kita akan mampu memperkuat kerangka pengawasan obat melalui kerja sama, pertukaran informasi, serta penyesuaian peraturan dan standar obat. Sesuai dengan standar internasional dan prinsip good regulatory practice (GRP),” ujar Penny dilansir dari Sindo News (27/07/2023).
Penny juga menekankan bahwa tidak cukup hanya dengan menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat. Selain itu, yang juga harus menjadi prioritas adalah menjamin obat-obat tersebut digunakan dengan cerdas dan bertanggung jawab.
“Jadi bukan hanya menjamin obat yang aman dan bermutu. Tetapi juga penggunaan obat tersebut dengan metode yang benar, pada saat yang benar, dan untuk kepentingan yang benar,” lanjutnya.