Saat ini pemerintah Indonesia tengah berupaya agar meningkatkan investasi asing di sektor farmasi dalam negeri. Bukan tanpa sebab, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada tahun 2018, total realisasi investasi asing (FDI) bidang farmasi menurun sebesar 8,8 persen dibandingkan tahun 2017, yaitu menjadi Rp 392,7 triliun.
Direktur Perencanaan Jasa dan Kawasan BKPM, Nurul Ichwan mengatakan sebetulnya Indonesia menarik bagi investor luar karena memiliki pasar potensial. Tetapi, karena ada banyak kendala, menyebabkan investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Ditambah lagi, Indonesia mesti menghadapi persaingan dengan negara lain yang terbilang lebih menggiurkan bagi investor.
“Kalau Singapura punya kekuatan infrastruktur, Vietnam bisa berikan tax holiday, kita juga punya kekuatan market,” ujarnya seperti MedX himpun dari situs Kumparan.
Untuk mengatasi hal ini, Nurul menilai bahwa Indonesia membutuhkan strategi untuk memberikan daya tawar yang kompetitif bagi investor asing. Dengan kelebihan potensi pasar, maka Indonesia bisa memberikan biaya logistik yang terjangkau, seperti infrastruktur mumpuni. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu menyiapkan kebijakan hingga insentif pajak.
“Yang bisa memberikan kontribusi terhadap murahnya biaya produksi untuk perusahaan farmasi di Indonesia, ini baru bisa membuat indonesia lebih kompetitif,” tegasnya.
Sementara itu, insentif itu juga perlu diterapkan untuk mendorong adanya RnD (research and development) terkait farmasi di Indonesia. Lebih jauh lagi, BKPM juga menyarankan agar pembuatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) farmasi perlu diseriusi. Selain memberikan insentif lebih banyak, KEK itu harapannya nantinya juga bisa membuat sistem terintegrasi dari industri farmasi yang solid.
“Terintegrasi mulai dari raw material, semi produksi, sampai final produksi, sampai ke pelabuhan untuk ekspor itu lebih baik lagi,” pungkasnya.