Kementerian Pertanian (Kementan) dan FAO ECTAD Indonesia mengingatkan para peternak akan ancaman pandemik di sektor perunggasan nasional, salah satunya yaitu temuan jenis virus flu burung baru di Indonesia, H9N2. Virus ini bersifat “low pathogenic avian influenza” (LPAI) atau penyakit flu burung tidak membahayakan manusia.
Virus ini dapat menurunkan produksi, terutama pada peternak ayam petelur hingga 70 persen, menurut keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis,5 Juli 2018, seperti dilansir Kantor Berita Antara.
Untuk itu Kementan bersama dengan FAO ECTAD Indonesia dan sejumlah lembaga lainnya telah mengambil sejumlah langkah aktif dalam mengendalikan flu burung termasuk aktivitas lain untuk mendorong para peternak menghasilkan produk unggas yang sehat bagi masyarakat.
“Kita menghadapi tantangan penurunan produksi telur akibat H9N2. Di sisi lain, kita juga kesulitan untuk memproduksi vaksin. Dahulu untuk virus flu burung jenis H5N1 (bersifat highly pathogenic), kita lebih mudah memproduksi vaksinnya. Tapi untuk virus H9N2 ini sulit untuk ditumbuhkan dan dibuatkan vaksin, tapi sangat merugikan peternak karena menurunkan produksi telur,” ujar Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Fadjar S.
Selain H9N2, Fajar menjelaskan mendapat banyak laporan terkait kematian terutama pada peternakan ayam broiler.
“Muncul berbagai dugaan penyabab timbulnya kasus-kasus tersebut, apakah hanya karena infeksi tunggal dari suatu jenis penyakit atau melibatkan infeksi bersama dan permasalahan lainnya seperti manajemen pakan, vaksinasi, biosekuriti dan sebagainya,” ujar dia.
Penggunaan AGP
Untuk itu Fajar mendorong para peternak agar bisa memperbaiki pengelolaan kandang, sebagai usaha terbaik untuk mencegah infeksi virus dan kuman pada unggas.
“Perhatian kami yang lain, yaitu terkait penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promotor) di sektor perunggasan. Ini sudah dilarang, di seluruh dunia, dan kami sudah yakinkan para peternak bahwa AGP hanya memberi keuntungan jangka pendek, tapi sangat merugikan untuk jangka panjang,” katanya,seperti dilansir Kantor Berita Antara.
Senada dengan Fajar, Ketua Tim FAO ECTAD Indonesia James McGrane menegaskan, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, menjadi perhatian serius di seluruh dunia karena menyebabkan resistensi antimikroba.
Tidak hanya pada sektor kesehatan manusia, tapi juga pada sektor pertanian dimana penggunaan antibiotik di sektor tersebut masih sulit untuk dikendalikan.
“Jika kita tidak melakukan sesuatu, diperkirakan kematian manusia akibat infeksi yang tidak bisa disembuhkan karena kuman yang resisten dapat mencapai 10 juta jiwa pada 2050,” katanya.
Untuk itu, tambah James, melalui program EPT2 yang didanai oleh USAID, FAO ECTAD mendorong peningkatkan kapasitas pemerintah Indonesia dalam menghadapi dan mencegah ancaman pandemik termasuk resistensi antimikroba.
“Saya sangat senang hari ini kami, bersama dengan Kementan dan para peternak bisa duduk bersama untuk mendiskusikan masalah yang sedang dan akan kita hadapi di waktu yang akan mendatang, dan mari kita bersama-sama mencari solusinya,” katanya.